Pada suatu sore yang cerah, saya bertandang ke rumah teman di lereng Gunung Slamet yang asri. Dia seorang perempuan, penyuluh pertanian, juga petani, khususnya komoditas sayur mayur. Desanya memang subur dilimpahi berkah gunung dan iklimnya cocok untuk berbagai macam jenis sayuran seperti kentang, wortel, kol, timung, terong, tomat dan tentu saja cabe. Jadi selain menjalankan pemberdayaan petani, dia juga petani beneran, tak segan turun ke lahan, bahu membahu sama suaminya mengolah tanah dan menjual hasilnya langsung ke pasar tanpa lewat tengkulak.
Perempuan berpendidikan, penyuluh, juga petani, wah sosok yang langka. Atas segala kiprahnya, saya menjulukinya ‘Srikandi Petani Dari Lereng Gunung Slamet’. “Ah, pujian yang berlebihan Mas, saya cuma menjalankan tugas sebagai penyuluh pertanian, masih honorer lagi. Selebihnya saya ingin mengabdikan ilmu saya dan kebetulan ada tanah warisan bapak dan bapak mertua, sayang lah kalau tidak diolah,” katanya merendah tapi tersipu senang waktu saya melontarkan pujian itu.
Ah, perempuan memang suka dipuji. Iya kan?
Sore itu, kebetulan sambil suaminya lagi di ladang, jadi kita bisa ngobrol lebar dan panjang sambil medang gorengan pisang. Topiknya berganti-ganti, sampai kemudian tiba pada tema yang sedang hot, soal sengkarut dunia percabean .
“Wah, kamu sedang untung besar dong, harga cabe lagi naik loh. Sampai 200 ribu per kilo di berita-berita, kemarin aku beli dipasar 120 ribu per kilo,” kataku.
Eh, tak disangka dia langsung sewot.“Bro, nggak usah dibesar-besarin napa sih kenaikan harga cabe, apalagi digede-gedein bahwa petani yang untung besar. ‘Enak yaa petani cabe, harga cabe Rp 200 ribu, untung besar dong, bla, bla..’. Woi, itu di pasar brooo, di tingkat petani paling harga sepertiganya. Cabe mahal yang untung gede tengkulak, spekulan, pedagang, petani ya memang untung dengan harga sekarang, itung-itung buat nutup kerugian yang lalu-lalu. Betewe, saat harga cabe 2 ribu perak di tingkat petani beritanya nggak heboh begini. Emang loe pikir nanem cabe gampang apa?huh! Susah tau!,” ujarnya kenceng.
Ini dia nih, dibalik kiprahnya yang kece ada sifatnya yang nyebelin, cerewet abiis. Satu lagi ding, dia suka makan jengkol sehingga selain julukan ‘Srikandi Petani’ saya sering memanggilnya ‘Dewi Jengkol’. Hmmmh, ada bau yang meruap sedap dari mulutnya saat nyerocos. Waduh, mbakyu, ayu-ayu kok mambu jengkol…
“Lah emang susah nanem cabe ya? Bukanya sama kan sama sayur-sayur yang lain, gampang lah buat kamu yang sarjana pertanian?,” ujarku.
“Gampang ndasmu atos! Apalagi buat sarjana yang bisanya cuma teori doang kaya kamu, aku jamin nanem cabe belum tentu bisa. Aku kasih tahu ya, nanem cabe itu lebih susah, ribet, njlimet, butuh perhatian ekstra, udah gitu mahal lagi biayanya. Inyong kasih tahu ya bro, nanem cabe itu seperti merawat perempuan. Harus dengan penuh perhatian dan kasih sayang dan kesabaran plus ongkosnya mahal!,” sambutnya sengit.
Berjarak satu sruputan teh, Ia melanjutkan kembali. “Kamu jangan bayangin nanem cabe di polibag atau di pot depan rumah yang paling puluhan pohon cabe dengan budidaya cabe skala besar yaa. Jauh banget bedanya. Nanem cabe satu pohon dua pohon di pekarangan biasanya sukses dan jauh dari penyakit karena perhatian ekstra dan terawat dengan baik. Nandur cabe di lahan, lebih ribet, rumit dan njlimet kayak kisah cintamu,”
“Wuasu, kok kisah cintaku dibawa-bawa, disama-samain kayak nanem cabe pula, tak cipok baru tahu rasa..” kataku, cukup dalam hati.