[caption id="attachment_374889" align="aligncenter" width="480" caption="Foto "][/caption]
Purbalingga, kota saya, kembali menjadi sorotan nasional, tapi kok ya bukan hal yang membanggakan sih. Pekan lalu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa datang ke Purbalingga. Selain berbagai agenda kerja resminya, Bu Mensos mengaku tengah melakukan riset mencari penyebab tingginya angka gugat cerai di Kabupaten Purbalingga.
Ya, di kota saya itu tingkat perceraian beberapa tahun terakhir ini memang tinggi. Saya pernah ngobrol sama pegawai pengadilan agama di mobil travel sepanjang perjalanan Semarang-Purbalingga, dia bilang sampai kewalahan mengurus orang mau cerai di Purbalingga. Pengadilan Agama Purbalingga juga naik kelas dari kelas C ke B dan berpindah ke gedung yang lebih luas dan megah di bilangan Kedungmenjangan karena kantor lama di dekat Pasar Mandiri sudah terlalu sempit.
Fenomena ini memang sudah menjadi perhatian. Bahkan ada akademisi dari Universitas Muhamadiyah Purwokerto, saya lupa namanya, menjadikanya sebagai objek penelitian. Hasin penelitian secara singkat penelitian itu sama dengan analisa Bu Mensos. Mereka sama-sama menduga penyebab tingginya perceraian di Purbalingga, yaitu, tulang punggung keluarga telah beralih dari suami ke pihak istri.
“Sejak menjadi menteri pemberdayaan perempuan, saya sudah tertarik untuk mengkaji ini. Kenapa di kabupaten-kabupaten ini termasuk Purbalingga, angka perceraiannya tinggi. Dan menariknya, inisiatif itu mayoritas datang dari pihak istri,” kata Mensos Khofifah disini .
Dari Catatan Kantor Kementerian Agama Purbalingga, sebagian besar inisiatif perceraian datang dari pihak istri. Angkanya pun fantastis, hampir menyentuh 20 persen dari jumlah pernikahan. Jika, jumlah pernikahan di Purbalingga berada di kisaran 10-11 ribu per tahun maka perceraian per tahun ada 2000-2200 kasus. Jadi, rata-rata per bulan hampir 200 kaus. Artinya, ada sekitar 200 janda baru
di Purbalingga tiap bulan. WOW.
Pesan buat para Jomblo : nggak usah galau sebab jomblo dan membiarkan hatimu berdebu, datanglah ke Purbalingga. Tak dapat gadis, janda pun tak apa bukan? Jandanya masih muda-muda dan kinyis-kinyis kok.. hihi.
Saya rasa ini PR berat buat pemerintah daerah. Lapangan pekerjaan di Purbalingga memang kini didominasi untuk perempuan dengan maraknya industri rambut palsu. Istri bekerja, suami hanya mengantar, urus anak (kalau mau) dan leha-leha dirumah. Sampai muncul istilah Pamong Praja, Papa Momong Mama Bekerja.
Ini kan kebolak kebalik, lelaki yang harus menjadi tulang punggung keluarga malah berlaku sebaliknya. Istri yang harus banting tulang menghidupi keluarga. Kalau sudah begini tentu repot. Apalagi, dalam diri lelaki ada istilah "Boys, Always be Boys". Selalu ada sisi kekanak-kanakan dalam diri laki-laki sampai tua, tambah nyebelin kan?. Baca tulisan saya sebelumnya disini
Istri lama-kelamaan pasti berpikir. "Dasar laki-laki tak berguna. Modal "itu" doang kau. Lebih baik aku hidup sendiri. Lagian, banyak laki-laki di luar sana yang mau kok. Huh". *Bacalah dengan gaya telenovela.
Jika sudah begini, perceraian menjadi jalan keluar. Akhirnya yaa bisa ditebak. Iya kalau berakhir baik-baik, lah kalau buruk-buruk. Anak yang jadi korban. Kasihan generasi muda penerus Purbalingga nantinya.