Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Megawati, Satyawati dan Ambisi yang Membawa Malapetaka

30 April 2014   23:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_322038" align="aligncenter" width="300" caption="Megawati dan Jokowi (www.republika.co.id)"][/caption]

Ada kisah menarik menjelang penetapan capres resmi yang akan diusung oleh koalisi partai-partai politik mendatang. Tampaknya, calon-calon presiden yang ada sekarang belumlah terjamin 100 persen mendapatkan tiket untuk maju bertarung memperebutkan tahta nusantara pada 9 Juli nanti. Dari tiga nama yang sekarang tengah beredar kuat, semuanya masih berada dalam kondisi 'Andi Lau' alias Antara Dilema dan Galau.

Prabowo Subianto, capres yang diusung Gerindra, masih ‘galau berat’ karena hingga kini belum mendapatkan teman koalisi yang sehati. PPP yang tadinya resmi mendukung dengan gegap gempita ternyata hanya Partai PHP alias Pemberi Harapan Palsu (PHP), setelah menarik diri karena dilanda kisruh internal.

Belum lagi, ancaman dari koalisi macam ‘Poros Tengah’ yang digagas Amin Rais atau juga SBY dengan Partai Demokratnya yang berpotensi mengajukan calon alternatif dan semakin memanaskan tarik ulur koalisi. Ancaman ini tak bisa dianggap remeh karena terbukti ‘Poros Tengah’  semacam ini pernah sukses membalikan prediksi dan peta politik

Aburizal Bakrie, nasib pencapresanya juga semakin tak jelas. Selain elektabilitasnya rendah dan tak kunjung naik. Kemudian, dari dalam Partai Golkar sendiri, Ical jelas tengah dirongrong. Geng Akbar Tanjung dan kawan-kawan yang tak henti-hentinya bermanuver. Akbar malah telah menawarkan diri menjadi cawapres bagi capres lain. Bisa jadi, Ical saat ini sudah tak bergairah lagi merengkuh kursi RI 1.

Jokowi, yang selama ini dianggap calon terkuat juga terus digoyang. Selain dari luar yang dinilai sebagai ‘musuh bersama’ sehingga muncul gerakan Asal Bukan Jokowi, situasi internal partai banteng moncong putih juga tengah goyang. Musababnya, adalah ‘Efek Jokowi’ yang digadang-gadang bakal mujarab ternyata dianggap tak manjur dalam mendongkrak perolehan suara PDI Perjuangan.

Terlebih lagi, di partai orde baru itu juga masih ada arus Pro Mega yang sangat kuat. Mereka masih ‘alergi’ terhadap non trah Soekarno untuk memimpin partai itu, apalagi menjadi calon presiden. Mereka inilah yang terus berusaha mempengaruhi Megawati Soekarnoputri, baik langsung atau melalui anaknya Puan Maharani.

Mega sebenarnya sudah banyak dipuji banyak pihak ketika dirinya legowo memberikan mandat melalui tulisan tanganya sendiri kepada Jokowi menjadi calon presiden. Namun, rupanya perubahan ‘cuaca’ politik pun membuat dirinya goyah. Konon, usai pengumuman hitung cepat hasil pileg yang menyebutkan bahwa partainya tak sesuai target yang tak bisa mecalonkan capres secara mandiri ada tragedi Puan marah-marah dan mengusir Jokowi dari rumahnya. Mega sampai menangis melihat kelakuan anaknya yang emosional itu.

Kini disekeliling Puan kabarnya ada yang namanya Geng Tancho. Mereka adalah pria-pria berambut klimis yanga da disekeliling Ketua Bappilu PDI P itu. Mereka, melalui Puan selalu berusaha terus menggangsir Jokowi.

Seperti dari dikutipdari berita ini, http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/23/140941/2563108/1562/rumor-geng-tancho-di-sekeliling-puan-maharani?992204topnews, perbedaan pendapat antara kubu Puan Maharani dan Jokowi sebenarnya sudah terjadi sejak Jokowi belum ditetapkan sebagai capres PDIP. Kala itu, geng elit disekeliling Puan ini terus mendorong pencapresan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kabarnya, Mega bahkan menetapkan Jokowi sebagai capres PDIP tanpa bicara terlebih dahulu dengan Puan dan 'geng Tancho ini'.

Kubu Puan Maharani dan 'geng Tancho' di atas angin tatkala perolehan suara PDIP tak sampai 20%. Apalagi ditambah pemberitaan yang marak bahwa 'Jokowi effect' ternyata nggak ngefek. Jokowi dipojokkan, bahkan digelontorkan isu evaluasi pencapresan Jokowi. Nah, setelah pencapresan Jokowi tak bisa digoyang, kubu Puan terus bermanuver. Puan didampingi 'geng Tancho' terus melakukan komunikasi koalisi, kabarnya juga meramu cawapres serta kabinet tanpa mengajak bicara Jokowi.

Manuver 'geng Tancho' pun terus berlanjut. Puan Maharani sukses membuat ibunya, Megawati, tak memberikan tugas ketua tim pemenangan Pilpres ke Jokowi. Konon 'geng Tancho' juga sedang mendorong duet Jokowi-Puan ke Pilpres 2014. Namun belakangan nama Puan mulai didrop dari daftar cawapres Jokowi karena duet ini dinilai Mega kurang kuat di Pilpres 2014.

Sekarang ini ada 3 nama yang menguat menjadi kandidat cawapres Jokowi yakni Jusuf Kalla , Mahfud Md dan eks KASAD Ryamizard Ryacudu. Mega tengah membahas cawapres Jokowi bersama Ketum Partai NasDem Surya Paloh dan Jokowi. Namun sampai kini belum ada kesimpulan akhir soal cawapres Jokowi.

Lalu, bagaimana nasib Jokowi. Semuanya, kini ada ditangan Mega. Sikap negarawan-nya tengah diuji. Apakah Ia akan mengalah pada anaknya dan Geng Tancho atau tetap mengedepankan kepentingan partai dan bersikap layaknya seorang negarawan?

Mega perlu berkaca pada kisah Mahabarata, disitu ada Satyawati atau yang dalam kisah pewayangan jawa juga disebut Durgandini. Satyawati adalah perempuan super ambisius yang menginginkan anak turunannya menjadi penerus raja-raja Hastinapura. Padahal, dirinya hanyalah anak nelayan yang berstatus sebagai istri kedua.

[caption id="attachment_322039" align="aligncenter" width="300" caption="Satyawati Yang Penuh Ambisi (www.starplus.in)"]

13988488301970640029
13988488301970640029
[/caption]

Itupun berkat sumpah Bisma yang memenuhi permintaan Satyawati. Ia rela tak mendapatkan tahta bahkan tak menikah seumur hidup, demi bersatunya Satyawati dan Sentanu, ayahnya. Akhirnya tahta Hastinapura memang jatuh ke tangan anak dan keturunan Satyawati. Padahal,  yang merupakan putra mahkota adalah Bisma. Kketurunanya memang menjadi penerus tahta Hastina, tetapi mereka selalu dirundung masalah.

Anaknya Citraganda dan Wicitrawirya mati muda tanpa meninggalkan keturunan. Janda Wicitrawirya, Ambika dan Ambalika pun mendapatkan anak dari hasil memuja dewa lewat perantara Begawan Abiyasa. Lahirlah Pandu Dewanata dan Destrarata. Pandu memimpin tahta hastinapura hanya sebentar karena terkena musibah dan dikutuk resi. Ia harus meninggalkan istana dan menyepi dihutan.

Destrarata yang buta kemudian bertahta menggantikanya. Namun, Ia merupakan raja yang buta penglihatan juga mata hatinya. Destrarata pun memimpin dengan membabi buta termasuk dalam mendidik anak-anaknya, Duryudana dan 99 saudaranya.

Akhirnya, ambisi Satyawati berbuah malapetaka yang puncaknya ada pada perang dahsyat Mahabarata. Perang berdarah di Padang Kurusetra itu berlangsung hebat antara saudara sepupu, keturunan Satyawati. Pandawa Lima, putra Pandu pada satu sisi dan Bala Kurawa putra-putra Destrarata pada sisi yang lain. Ambisi perempuan bernama Satyawati itu pun berujung malapetaka.

Dari kisah itu, Megawati sebagai anak Soekarno yang saya yakin mengetahui kisah mahabarata semestinya bisa berkaca. Mega, jika tak hati-hati dan mengikuti ambisi, juga akan terkena malapetaka. Apabila, Ia bersikeras dirinya atau anak turunnya yang akan menjadi calon presiden yang bertahta di Indonesia dan sampai mengevaluasi pencapresan Jokowi, maka bersiap-siaplah menerima kekalahan ketiga. Saat inipun, bila Mega tak pandai-pandai menguasai konflik tersembunyi di internal partainya, niscaya Jokowi-pun bisa terjegal.

Hasilnya bisa ditebak, PDI perjuangan partai yang dipimpinnya, gagal lagi menjadi ‘the ruling party’ yang memimpin negeri ini. Sebagai pemenang pemilu sekalipun, PDI Perjuangan harus bersiap menjadi oposisi lagi. Maka, jika tak ingin terjadi malapetaka dan memimpin negeri ini. Megawati harus bersikap negarawan. Ia harus legowo mungkin mendukung Jokowi sepenuh hati. Megawati juga harus memadamkan api konflik laten di partainya juga keluarganya sebelum menjadi besar dan membakar semuanya.

Salam Mahabarata

Baca juga kisah ini

Mahabarata : Satyawati dan Ambisi Wanita Pemantik Petaka --> http://sosbud.kompasiana.com/2014/04/26/mahabarata-satyawati-dan-ambisi-wanita-pemantik-petaka-651929.html

Mahabarata : Madri dan Rasanya Dimadu --> http://sosbud.kompasiana.com/2014/04/29/mahabarata-madri-dan-rasanya-dimadu-652365.html



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun