Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Antara Jilbab Hitam, Nabi, dan Wartawan

13 November 2013   14:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:13 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Riuh rendah ‘Jilbab Hitam’ membuat saya cukup produktif menulis hari ini. Dua artikel saya hasilkan untuk Kompasiana. Satu tulisan : ‘Catatan Mantan Wartawan Tempo Untuk Jilbab Hitam’, kedua yang akan saya tulis ini.

Tulisan kontroversial itu memang telah membuat Tempo kebakaran jenggot. Di laman kompasiana, selain tulisan saya, puluhan mungkin ratusan artikel tentang jilbab hitam dibuat. Banyak yang pro, banyak yang kontra. Jilbab Hitam memang fenomenal. Saya tak bermaksud membabi buta namun saya masih yakin sebagai institusi media, Tempo masih yang terbaik dalam mejaga kredibilitasnya.

Akan tetapi, ada satu yang saya juga percayai dari tulisan Si Jilbab Hitam itu bahwa banyak oknum wartawan nakal dan itu tidak hanya sebatas di media ‘abal-abal’ tetapi ada pula di media masa mainsteram level nasional. Dari mulai amplop recehan, sampai berita pesanan bernilai jutaan. Dari yang terima-terima aja, sampai yang ‘nginjek’ (baca : meras).

Padahal, tugas seorang jurnalis itu mulia dan berat tanggung jawabnya. “Jurnalis itu seperti nabi. Kita juga 'Messenger', mirip nabi cuma konstituen ama pesannya aja yang beda. Maka jurnalis itu harus suci,” begitulah kira-kira kutipan dari percakapanku yang saat itu reporter baru diangkat dengan Muhruf, jurnalis Koran Sindo yang kini mendirikan Majalah Pialang Indonesia. Kala itu, kita berdiskusi dibawah tangga gedung menko perekonomian sembari menunggu Boediono dan Sri Mulyani.

Perumpamaannya yang bikin merinding. "Wah, berat banget cuy jadi wartawan itu?!!," kataku.

Terlalu hiperbola sih, tetapi Sastrawan Emha Ainun Najib pun pernah mengatakan bahwa wartawan adalah penerus nabi dan rasul sebagai penyampai risalah. Wartawan, kata dia, haruslah memiliki kualitas diatas rata-rata.

Lepas dari perdebatan itu, profesi wartawan memang sangat berpengaruh. Sebuah kegaduhan bisa ditimbulkan dari goresan pena mereka. Perdamaian pun bisa diwujudkan dengan bantuan para pewarta. Juru damai bisa, provokator juga oke. Apalagi di era kemajuan teknologi seperti saat ini, peran media masa makin menjadi-jadi. Apa yang disampaikan media bak sabda para nabi yang seringkali begitu saja ditelan mentah-mentah oleh khalayak.

Oleh karena begitu besarnya pengaruh media, maka seorang pewarta haruslah berhati-hati dalam membuat berita. Dengan pekerjaanya yang 'mulia', jurnalis punya kode etik untuk menjaga 'kesucian' pekerjaanya. Pesan-pesan yang ditulis jurnalis harus benar, akurat dan bermanfaat bagi khalayak selain sedap dibaca tentunya. Berita pun tak boleh berat sebelah, harus cover both side, cek n ricek. Tak boleh juga menerima amplop untuk berita pesanan apalagi nulis berita miring buat meres, haram hukumnya itu..hehe.

Apakah selama saya jadi jurnalis saya melakukan hal se-ideal itu..?Ah, saya dulu hanya berusaha menjadi jurnalis yang rajin..*produktivitas berita saya banyak tapi cuma sedikit atau bahkan tidak ada yang bisa dibanggakan..haha.

Saya juga pernah nerima amplop, soalnya pengen tahu rasanya nerima amplop.. hehe. Meski sesudah itu saya kembalikan juga setelah saya lihat isinya. Sebagai jurnalis pemula, saya takut di pecat waktu itu. Padahal, waktu itu mengembalikan amplop berisi setengah bulan gaji adalah hal yg berat tapi lega setelah melakukannya. Di kantor saya, ada tuh daftar pengembalian amplop bulan ini.

Amplop itu dikalangan jurnalis biasa disebut 'jale'. Biasa diberikan narasumber, PR perusahaan, instansi pemerintah dan lainnya dengan tujuan agar memperoleh pemberitaan yang baik tentunya. Bisa juga amplop itu ucapan terima kasih karena sudah diekspose. Ini nih, godaan terbesar buat jurnalis memang..

Meski soal amplop Insya Alloh saya belum pernah nerima, tetapi soal lain, pernah lah dikit-dikit..hehe. Di traktir makan pernah. Souvenir hasil liputan juga banyak saya koleksi atau bagi-bagi ke OB kantor. Manfaatin kartu pers buat bebas tilang polisi juga pernah. Nonton konser gretong pakai kartu pers? Ah, saya pernah juga itu..*pengakuan malu-malu.

Melanggar kode etik ga yah??.. Ah, saya kan sudah mantan jurnalis..hihi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun