Masa anak-anak Anda tahu dan pernah menyanyikan lagu 'Balonku' yang ada lima itu? Hafal lagu 'Bangun Tidur' yang ku terus mandi? Sering menyanyikan lagu 'Naik Delman' istimewa pada Hari Minggu saat turut ayah ke kota? Lalu, familiar dengan lagu 'Lihat Kebunku' yang dipenuhi bunga? Pernah menyanyikan lagu 'Kring-Kring Ada Sepeda', 'Kereta Apiku', 'Naik Becak', 'Sayang Semuanya'?.
Pasti tahu dan pernah nyanyiin lah ya, masa nggak!? Anak jaman now saja masih tahu lagu-lagu itu, apalagi yang kelahiran era 50an sampai 2000an, pasti paham banget... hehe
Tahukah siapa pencipta lagu-lagu yang menemani masa-masa bocah kita itu?
Namanya unik, Pak Kasur. Beliau tokoh pendidik dan pencipta ratusan lagu anak-anak yang everlasting, masih dinyanyikan hingga sekarang. Usut punya usut, ternyata Pak Kasur lahir di kota saya, Purbalingga, Jawa Tengah tepatnya di Desa Serayu Larangan, Kecamatan Mrebet.
Bulan lalu, saya main ke Tuk Dandang, lokasi wisata di desa itu dan pas ketemu dengan Mas Kades Fajar Prasetyo. Ia bercerita jika makam Pak Kasur yang sebelumnya ada di Kaliori, Banyumas sudah dipindahkan ke desa kelahirannya pada September 2022 lalu. Saat ini, makam Pak Kasur yang berdampingan dengan Bu Kasur ada di Komplek Pemakaman Sasono Lelayu, Desa Serayu Larangan.
Perjalanan Soerjono, dari Purbalingga untuk Indonesia
 Nama aslinya, Soerjono, lahir sebagai bungsu dari 9 bersaudara pada Jumat Legi, 26 Juli 1912. Nama Soerjono atau Suryono dari kata 'suryo' yang berarti matahari dan 'ono' yang berarti ada. Suryono memang lahir saat matahari terbit alias fajar mulai menyingsing.
Suryono tak sempat lama melihat sosok ayahnya Reksamenggala yang meninggal di usianya yang baru 6 bulan. Ia kemudian menjadi yatim dan diasuh oleh kakak-kakaknya. Namun, Soerjono kecil beruntung karena bisa menikmati pendidikan di Holland Indische School (HIS) Purbalingga, tanah kelahirannya. Ia kemudian meneruskan ke Meer Uitgebreid Laager Onderwijs (MULO) pada 1930 di Magelang.
Setamat dari MULO, dia ingin bekerja sebagai pegawai kantoran. Masa itu ijazah MULO, yang setara SMP, sudah cukup buat melamar kerja kantoran. Akan tetapi, resesi ekonomi di Eropa (malaise) berdampak juga pada Hindia Belanda. Kantor-kantor memotong gaji pegawainya, bahkan merumahkan sehingga niat untuk jadi pegawai pun berantakan.