Narasi tentang penyebaran Agama Islam di nusantara tidak mungkin akan jauh-jauh dari tokoh-tokoh yang terkenal dengan istilah Wali Sanga, yaitu majelis sembilan mubaligh yang menjadi penyebar Agama Islam di Jawa Dwipa. Hipotesis mayoritas itu menyatakan bahwa Islam mula-mula masuk ke Jawa melalui wilayah pesisir utara pada abad ke 14.
Namun, terdapat cerita lain yang datang dari wilayah Lereng Timur Gunung Slamet tentang penyebaran Agama Islam di Jawa, baik itu tokoh, pusat penyebarannya, maupun periodisasinya. Kisah tersebut bersumber pada wilayah yang dikenal dengan nama : Cahyana.
Hal itulah yang dikupas dalam buku 'Cahyana Karobal Minal Mu'minin : Pusat Penyebaran Agama Islam di Tengah Nusa Jawa'Â yang ditulis oleh Gunanto Eko Saputro, pemerhati sejarah dan Agus Sukoco, budayawan dan pegiat maiyah di wilayah Banyumas.
Buku itu banyak bersumber dari Babad Cariyosipun Redi Munggul dan Babad Cahyana Sech Jambu Karang, referensi utama tentang Cahyana yang dikombinasikan dengan berbagai referensi lainnya. Babad Cahyana membuktikan bahwa wilayah itu sudah menjadi pusat penyebaran Syiar Islam jauh sebelum era Wali Sanga. Generasi kelima pemimpin Cahyana, yaitu, Syekh Makdum Wali Perkasa menerima anugerah status tanah perdikan atas Cahyana dari Kesultanan Demak karena kiprahnya dalam menyebar agama islam dan jasanya membantu pendirian Masjid Agung Demak.
Wali Perkasa merupakan gelar yang Ia sandang lantaran 'kesaktiannya' ketika berusaha menegakkan bangunan masjid yang kala itu sempat doyong atau miring dan membetulkan arah kiblat. Babad menyebut, Ia bahu membahu dengan Sunan Kalijaga sebagai arsitek utama dan membuat 'saka tatal' (tiang utama dari serpihan kayu) Masjid Agung Demak yang legendaris.
Berkat ketokohan dan perannya, maka, Raden Patah - sultan pertama dari imperium Islam pertama di Jawa -- Kesultanan Demak Bintara tak ragu untuk menyerahkan 'serat kekancingan' kepada Wali Perkasa yang mengakui Cahyana sebagai tanah perdikan (daerah otonom bebas pajak). Sultan menyebutkan wilayah asal sang wali dengan nama 'Cahyana Karobal Minal Mu'minin'.
Hak kamardikan wilayah Cahyana berlaku turun temurun dengan penegasan bawa tak seorangpun boleh mencabutnya jika tidak ingin menerima kutukan dari para wali se-Nusa Jawa. Berdasarkan naskah yang tersimpan di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta, serat kekancingan tersebut bertarikh 1403 Saka atau 1481 Masehi.
Jika dilihat dari tahun ketika beslit tersebut dikeluarkan, masa hidup Wali Perkasa satu era dengan Wali Sanga. Sultan Fatah juga memberikan Layang Kekancingan yang sama kepada Sunan Kalijaga atas Perdikan Kadilangu dan pada saat itu Wali Sanga sekaligus juga dewan penasehat kesultanan.
Nah, Syekh Wali Perkasa yang merupakan generasi kelima pemimpin Cahyana. Jika menarik mundur silsilah Wali Perkasa, Ia adalah canggah dari Syekh Jambu Karang, perintis di wilayah Cahyana yang tentunya jauh lebih awal dari era Wali Sanga.