Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar dari Perbedaan Pendapat dengan Pasangan

23 Desember 2013   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A : Kamu hobinya apa? B: Traveling. Kalau kamu?  A : Aku juga. Aku suka banget jalan-jalan. Kok kita hobinya sama yah? Jangan-jangan kita berjodoh.  B : oh ya? masa?

A : Kamu sukanya warna apa? K : Biru dong. A : Ih.. suka biru juga. Sama banget sih. Tuh, koleksi bajuku banyak banget warna biru. K : Iya. Jangan-jangan kita memang berjodoh

Dialog diatas sering Anda dengar atau Anda praktekan bukan? Terutama bagi dua insan yang sama-sama sedang tertarik satu sama lain. Dalam masa-masa pedekate, jurus sama-samaan dan mirip-miripan seperti ini pasti menjadi andalan.

Alasanya, jika memiliki banyak kesamaan maka tak banyak akan terjadi perbedaan pendapat yang berpeluang menjadikan hubungan tak nikmat bahkan kiamat. Dengan kemiripan hoby, status sosial, latar belakang, pendidikan, ketertarikan dan lainnya maka cenderung berjodoh. Bahkan, ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa kalau jodoh katanya raut mukanya juga mirip.

Jadi, kemiripan dan kesamaan dijadikan sebuah pertanda atau sinyal kuat bahwa jodoh sudah dekat. Jika dilanjutkan ke jenjang berikutnya, pun akan mudah untuk jadi sebuah hubungan yang indah dan harmonis. Tak sering bertengkar, tak sering berseberangan, tak sering beda pendapat.

Apa benar?

Ya, mungkin ada benarnya juga.  Argumennya begini, kesamaan dan kemiripan itu membuat pasangan gampang dekat, kehidupan berdampingan nantinya pun akan lebih simple. Mau menjalani hobi bareng, tak perlu berdebat dan akhirnya berpisah karena perbedaan keinginan, yang sini ngebet traveling, yang sana ogah jalan-jalan,  kan repot.  Dengan kesamaan minat, pasangan bisa menjalankan hobi bersama-sama tanpa banyak beda pendapat.

Mau makan ? Gampang, kan kesukaanya sama sehingga tak perlu masak bermacam lauk-pauk atau makan dua shift karena restoran yang dituju sama. Mau bertukar pendapat, juga klop, karena latar belakang pendidikan dan sosialnya sama. Soal nantinya punya anak pun tak usah diributkan mirip siapa, wong emak dan bapaknya sudah mirip.

Namun, kalau menurut saya terlalu banyak persamaan juga ada sisi negatifnya. Membosankan, statis, itu-itu saja, nggak menantang. Perbedaan antar pasangan, itulah yang justru membuat sebuah hubungan lebih berwarna dan lebih indah. Diskusi hangat ketika berbeda pendapat itu yang membuat hubungan tambah nikmat.

Coba, gadis anak konglomerat pacaran dengan lelaki biasa-biasa saja. Pasti kisahnya akan lebih berwarna dari ada pasangan sesama biasa-biasa saja. Si gadis konglomerat akan merasakan suasana yang berbeda, begitu juga si lelaki biasa. Lagian, kisah seperti ini juga ‘renyah’ dan ‘gurih’. Menarik buat cerita anak cucu, cocok banget juga kalau mau jadikan kisah sinetron.

Kita yang berbudaya jawa, tak usah sungkan pedekate sama gadis China. Pengalaman menikmati budaya yang berbeda tentu akan berkesan. Saya pernah mengalaminya. Meski tak sempat jadian, toh kita tetap berteman sampai sekarang.

Kalau pasangan beda hobi. Kan sesekali bisa saling bertukar hobi bukan? Hidup kita akan lebih berwarna. Jika kita tak suka makan ikan. Apasalahnya coba masakan pasangan kita yang doyan banget olahan mahluk air itu. Kali aja nanti ketularan suka. Saya dulu sama sekali tidak suka masakan padang. Alkisah saya pernah punya gebetan gadis minang, eh keterusan suka masakanpadang sampai sekarang. Hikmahnya kan makanan kesukaan saya lebih variatif, dari warteg sampai nasi padang.

Berpacaran beda agama juga asik meski pelik. Saya yang islam-jawa, pernah bestatus teman dekat gadis katolik, batak pula. Karakter beda, agama beda, toh kita bisa klop juga. Dia pernah menemani saya buka puasa, saya pernah mengantar ke gereja. Dia menikmati suasana lebaran, saya juga menghadiri suasana natalan. Kita sering beradu pendapat, siapa yang paling tepat, toh akhirnya tetap dekat. Meski akhirnya kita tak bersatu, saya yakin pengalaman itu membuat kita berdua lebih bisa menghargai sebuah perbedaan.

Dengan istri saya yang sekarang. Saya juga banyak sekali perbedaan. Dia coba-coba ikut hobi saya nonton film, eh ketiduran di bioskop. Mau ikutan nulis blog? Sampe sekarang dia baru bisa nulis status di fesbuk.  Ikut-ikutan nonton bola? Mana kuat begadang dia, yang ada tidur-tiduran di depan tivi. Saya juga tak mau nungguin dia belanja berjam-jam. Sudah dicoba tapi bête yang ada.

Namun, dia sukses ikut-ikutan saya suka kisah-kisah sejarah. Minimal dia suka banget sekarang nonton History Channel seperti saya. Saya juga jadi mau makan sayuran. Masakan kesukanyaanya yang dulu saya tidak suka. Dalam mendidik anak, meski beda pendapat kita berusaha tak memaksakan kehendak. Prinsipnya yang terbaik buat anak.

Artinya, kesamaan dan kemiripan mungkin akan memudahkan kita untuk menjalani sebuah hubungan. Namun,  perbedaan  juga membuat hidup lebih berwarna jika kita bijak menghadapinya.  Hargai perbedaan, jangan memaksakan kehendak dan pendapat kita terhadap pasangan. Cari solusi terbaik yang tidak saling mengalahkan. Jika akhirnya bersimpang jalan tetaplah baikan dan tak usah saling menyalahkan.

Jika ditarik ke kehidupan yang lebih luas, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pun sama. Kita bisa berkaca dari hubungan yang paling kecil, yaitu, hubungan dengan pasangan kita. Intinya hargai perbedaan. Jika kita bisa menghargai perbedaan dengan pasangan, kemungkinan besar kita bisa menghargai  pula perbedaan yang bertebaran disekitar kita. Tak perlu mencela karena mereka beda. Indah bukan?

Saya jadi teringat lagu Snada yang sering saya senandungkan ketika menjadi mahasiswa di Bogor dulu.

Satu Dalam Damai

Perbedaan diantara kita, pemberi warna di kehidupan
Sehingga dunia tetap berputar, mengiringi zaman

Lihat saja disekitar kita, alam berpadu berjuta raga
Saling berkait menyaru diri, atas sunnah Ilahi

Tapi mengapa kita manusia, tiada menyadari
Setiap perbedaan yang ada, menjadi tragedi
Kita saling bermusuhan, kita saling benci
Pertikaian peperangan, Membawa kita pada kehancuran
Kehancuran, kehancuran, kehancuran

Kedamaian datang bila kita satu
Panasnya amarah menjadi prahara
Dalam dunia kita harus ada cinta
Sehingga suasana aman dan bahagia...

Salam Damai dari Purbalingga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun