Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Antara Beras Vietnam dan Swasembada Nasional

29 Januari 2014   12:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390974164896937353

[caption id="attachment_308986" align="aligncenter" width="300" caption="Presiden SBY Panen Raya (Foto : www.presidenri.go.id) "][/caption] Indonesia adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri kita subur makmur jibar jibur, tak bakalan kurang pangan, wong tongkat kayu dan batu aja bisa jadi tanaman. Katanya seperti itu. Kenyataanya, masih 'jauh panggang dari api', lha wong untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya kita masih impor. Gandum, jagung, kedelai, garam, buah-buahan yang beredar di pasaran Indonesia lebih banyak produk petani China, Amerika, Thailand bukan produk lokal petani Indonesia. Beras yang menjadi makanan pokok kita dari Sabang sampai Meruaku juga sebagian impor. Kita pernah mengalami era menisnya swasembada beras. Itu dulu tahun 1980an, saat itu saya bahkan baru lahir. Itu waktu era Presiden Soeharto yang kata banyak stiker dan lukisan di bak truk masa kini, enak jamannya dia. Beras melimpah, murah lagi. Pantes, waktu itu tanah lagi subur-suburnya, banyak pembukaan lahan baru, teknologi baru dan dipacu dengan pupuk serta pestisida jor-joran, bahkan konon militer turun tangan mengawasi petani bercocok tanam padi. Setelah itu, kita tak pernah menikmati lagi namanya swasembada beras. Apalagi surplus, impor terus. Kebutuhan beras terus meningkat, lha wong semua makannya beras. Makanan pokok lainnya yang berbahan dasar singkong, jagung serta umbi-umbian perlahan tersingkir. Tanah juga sudah lelah dan miskin hara digeber terus2an sama pupuk kima. Pestisida sudah tak mempan. Tikus dan wereng merajalela. Sebagai lulusan IPB, saya sering kali ikut prihatin dengan hal ini. Terlebih lagi, banyak kebijakan pemerintah dari dulu hingga sekarang yang tak pro petani. Kalau sudah pro, masih diakali. Kita berbaik sangka saja, pemerintah mungkin sudah berusaha keras dan membuat berbagai aturan yang menguntungkan petani. Presiden SBY juga sudah mentargetkan pada 2014, di akhir masa jabatanya, negara ini bisa surplus beras 10 juta ton. Kalau sudah begitu tentu saja anak buahnya harus mendukung semua. Kementrian pertanian harus meningkatkan produksi. Bulog harus bekerja keras menjaga stabilitasi harga di petani maupun konsumen. Kementrian pergadangan juga harusnya segendang sepenarian melakukan berbagai kebijakan agar keuntungan tata niaga beras tak hanya dinikmati oleh pedagang tetapi juga petani. Tahun 2013 lalu, pemerintah mengumumkan Indonesia sudah swasembada beras. Pada 2014 tinggal mengejar angka surplus yang sudah ditargetkan. Tentu saja seharusnya impor beras sudah tak ada lagi. Namun, baru-baru ini ada kejadian yang mencederai swasembada beras. Hasil inpeksi Menko Perekonomian Hatta Rakasa di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta Timur, ada beras Vietnam mulai menyerbu pasaran. Berita selengkapnya disini Lho, kok bisa? Padahal, Bulog sudah memproklamirkan tahun ini tak mengimpor beras kategori medium dan yang mempunyai izin melakukan impor beras medium satu-satunya hanyalah Bulog, Nah, itu yang dicipinang beras vietnam kategori medium setara dengan kelas IR dan dijual harganya lebih murah. Pemerintah tentu saja (baca : seperti biasa) kaget. Hatta yang juga ketua umum PAN dan besan Presiden SBY langsung meminta Kementerian Perdagangan untuk menindaklanjuti. Kemendag diminta berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan. Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan kemudian menjelaskan, beras Vietnam yang beredar di Pasar Induk Beras Cipinang bukan beras selundupan. Menurut Bea Cukai, importasi beras sebanyak 16.900 ton itu masuk melalui proses resmi lewat Tanjung Priok dan Belawan. Ada perizinannya dari Kementerian Perdagangan. Selama 2013, Ditjen Bea Cukai mencatat adanya 83 kali importasi beras yang berkode 1006.30.99.00 itu. Selain itu, importasi beras ini dilengkapi dengan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan kepada 58 importir selain Perum Bulog. Kementerian yang dipimpin oleh Gita Wirjawan itu memang boleh mengeluarkan izin impor beras, tetapi hanya impor beras untuk keperluan tertentu bagi kesehatan dan konsumsi khusus. Impor juga hanya dapat dilakukan oleh importir terdaftar yang telah mendapat persetujuan impor (kuota) dari Menteri Perdagangan. Selain itu, impor beras hanya bisa dilakukan oleh Bulog. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, pun mengakui adanya importasi beras pada 2013. Tapi, yang dikeluarkan adalah izin impor beras premium, bukan beras medium. Izin yang diberikan itu telah sesuai ketentuan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, yang harus didasarkan kepada rekomendasi yang diberikan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian. Data Kementrian Perdagangan menyebutkan total impor dua beras jenis premium selama 2013 sebanyak 16.690 ton. Beda sedikit dengan angka Ditjen Bea Cukai yang meyebutkan 16.900 ton. Beras yang diimpor adalah beras jenis Basmati dari India dan beras Japonica. Jadi, Jelas bukan Beras Vietnam dong! Nah lho, jadi Beras Vietnam jenis medium yang ada di Pasar Induk Cipinang berasnya siapa?? Bea Cukai menyatakan itu legal karena ada izin dar Kemendag. Kemendag mengaku mengeluarkan izin tetapi bukan beras Vietnam, melainkan jenis Bashmanti dan Japonica. Kemungkinanya ada dua, beras tersebut berasal dari izin impor yang diselewengkan oleh mafia impor atau memang berasal dari beras selundupan. Dua-duanya jelas merupakan penyelewengan dan merugikan pemerintah, juga petani. Harus segera ditindak tegas atau swasembada beras hanya sekedar omong kosong. Swasemada kok masih impor. Imbas lainnya, kalau beras murah Vietnam terus dibiarkan, imbasnya ke petani kita. Harga beli gabah biasanya langsung drop. Tentu saja petani, apalagi petani kecil semakin tak bergairah untuk menanam. Kesejahteraan mereka juga semakin jauh dari kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun