Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Mental dan Kenaikan Elpiji 12 Kg

20 September 2014   16:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:08 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14111785141645117621

[caption id="attachment_343408" align="aligncenter" width="550" caption="Harga Elpiji 12 Kg Naik (sumber : www.medanbisnisdaily.com)"][/caption]

Pada 10 September 2014 lalu, akhirnya Pertamina memutuskan menaikkan harga elpiji non subsidi kemasan 12 Kg sebesar Rp 1.500/kg. Kenaikan ini membuat harga jual elpiji 12 Kg nett dari Pertamina menjadi Rp 7,569/kg dari sebelumnya Rp 6.069/kg. Apabila ditambahkan dengan komponen biaya lainnya, seperti transport, filling fee, margin Agen dan PPN, maka harga jual di agen menjadi Rp 9.519/kg atau Rp 114.300/tabung dari sebelumnya Rp 7.731/kg atau Rp 92.800/tabung.

Proses penyesuaian harga jual elpiji 12 Kg baru 'babak' pertama. Pertamina masih akan melakukan penyesuaian harga secara bertahap setelah di-review setiap 6 bulan sekali. Perusahaan minyak pelat merah itu memperkirakan, jika berjalan mulus, pada pertengahan 2016 harga elpiji kemasan 12 Kg akan sama dengan harga keekonomiannya.

Dikutip dari situsnya, Pertamina memutuskan kenaikan harga Elpiji setelah terus menerus merugi akibat tingginya harga LPG di pasar Internasional plus turunnya nilai tukar Rupiah. Penyesuaian pertama ini diharapkan dapat menekan kerugian bisnis elpiji non subsidi pada 2014 sebesar Rp 452 miliar.

Sebagai informasi, meski harga jual elpiji 12 kg sudah dinaikkan sebesar Rp 1.500/kg menjadi Rp 7.569/kg, harga elpiji di Indonesia masih termasuk yang paling rendah. Sebagai perbandingan di Jepang elpiji dijual setara Rp 20.000/kg, di Korea Rp 17.000/kg, China Rp 17.000-21.000/kg bahkan di Filipina, sesama negara ASEAN yang kondisi perekonomianya tidak lebih baik dari Indonesia, elpiji dijual ke masyarakatnya Rp.24.000/kg.

Meski dinaikan secara bertahap dan Pertamina sengaja mengumumkan penyesuaian secara mendadak, tetap saja menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Apalagi, kenaikan dilakukan saat transisi pemerintahan nasional yang sedang hangat, usai kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan ditengah isu tarik ulur kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Indikator gejolak ini misalnya terlihat jelas dari migrasi penggunaan elpiji 12 kg ke 3 kg bersubsidi yang berakibat naiknya permintaan elpiji 3 kg. Kelangkaan elpiji kemasan 3 kg atau yang sering disebut dimasyarakat sebagai 'elpiji melon' pun terjadi dimana-mana.

Revolusi Mental

Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran berharga dari kenaikan elpiji 12 kg ini. Pertamina, pemerintah, masyarakat perlu berbenah  atau meminjam istilah Jokowi, sang presiden terpilih, perlu melakukan 'revolusi mental'. Jika pertamina masih melakukan 'bussines as usual' dalam tata niaga elpiji, jika pemerintah tak mau merevolusi kebijakannya dalam pengelolaan minyak dan gas, jika masyarakat masih 'kurang' menyadari subsidi yang selama ini dinikmati dan dimanjakan oleh gas murah, maka persoalan serupa akan terus terjadi.

Bagi pertamina, kenaikan ini sudah barang tentu akan semakin memperlebar kesenjangan harga antara elpiji 12 kg dengan 3 kg yang disubsidi. Dengan selisih harga yang hampir dua kali lipat, Pertamina harus mewaspadai praktek pengoplosan isi tabung 3 kg di masukkan ke tabung 12 kg. Kemudian, sudah barang tentu ada lonjakan peralihan pengguna dari elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg.

Untuk mengatasi hal ini, Pertamina harus benar-benar menyiapkan langkah antisipasi. Pertama, harus diawasi sungguh-sunggu penyaluran elpiji 3 kg sehingga gas yang bersubsidi dari anggaran negara itu harus dikonsumsi oleh kalangan yang benar-benar berhak, yaitu kalangan menengah kebawah dan usaha kecil. Kedua, perlu disiapkan juga sanksi seberat-beratnya kepada pelaku pengoplosan dan penimbun. Jika kedua hal ini tidak dilakukan sama saja bisnis gas Pertamina akan terus menerus merugi dan subsidi tetap tak tepat sasaran.

Kemudian, dari sisi produksi, Pertamina juga harus mulai membangun kilang sehingga bisa memperbesar produksi elpiji. Selama ini produksi elpiji pertamina masih jauh dibawah kebutuhan sehingga impor tak terelakan. Perusahaan minyak dan gas milik negara itu juga harus segera menyiapkan insfrastruktur untuk proses 'hijrah' dari elpiji ke penggunaan gas alam cair yang kita miliki berlimpah ruah.

Proses revolusi ini, harus didukung pemerintah dengan menelorkan  kebijakan yang progresif dan kemauan politik yang kuat. Pemerintah harus segera merancang kebijakan pengembangan Liquified Natural Gas (LNG), yang selama ini banyak kita jual murah ke negara lain. Pada tahun 2013, Indonesia mengekspor gas alam 17.04 juta metric ton. Selama ini, gas alam cair memang lebih banyak kita ekspor, sementara penggunaan untuk industri dalam negeri dan terutama rumah tangga masih sangat minim. Seperti diketahui, Indonesia justru sehingga malah impor elpiji besar-besaran. Dalam setahun kemarin saja impor LPG mencapai 3.3 juta metric ton. Jumlah tersebut, lebih dari setengah kebutuhan nasional gas elpiji yang berkisar 6 juta metric ton, sementara produksi domestik hanya 2.3 juta metric ton. Kondisi ini tentu saja ironi yang tak boleh terus menerus dipelihara.

Selama ini, pengembangan LNG untuk keperluan rumah tangga selalu terbentur dengan alasan infrastruktur yang mahal. Memang, penggunaan gas alam cair untuk rumah tangga tak segampang eliji yang cukup dimasukan ke tabung sehingga lebih mudah transportasinya. Penggunaan gas alam untuk rumah tangga membutuhkan pipa yang merentang hingga ke dapur rumah. Saat ini, pipa distribusi yang bisa sampai ke rumah hanya ada segelintir di kota-kota besar.

Untuk mengatasi hal ini, tentu perlu kemauan yang kuat dan kebijakan revolusioner dari pemerintah. Mental pemerintah harus berubah untuk tak hanya berpikir praktis, impor!. Pemerintah harus mulau mempersiapkan proses 'hijrah' dari LPG ke LNG. Jangan lagi gas kita jual murah ke luar negeri sementara rakyat kita sendiri kekurangan gas.

Sebagai informasi, Indonesia mempunyai cadangan gas alam cair no 11 terbesar di dunia dengan total cadangan terkonfirmasi sebesar 98 trilliun kaki kubik. Indonesia memiliki 3 daerah penghasil gas alam yaitu Arun di Aceh, Bontang di Kalimantan Timur dan Tangguh di Papua dengan serta 2 lokasi sebagai terminal import gas di Jawa Barat serta di Jawa Timur.(Wikipedia)

Kenaikan harga Elpiji ini juga bisa menjadi pelajaran dan ujian revolusi mental bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Mereka harus ikut menyadari, bahwa selama ini pemerintah banyak memberikan subsidi bagi kalangan mampu ini, diantaranya subsidi BBM dan Elpiji. Jadi, seharusnya naiknya harga elpiji 12 kg, tak lantas membuat panik dan migrasi besar-besaran ke elpiji 3 kg. Ingat, elpiji 3 kg adalah hak bagi kalangan menengah kebawah.

Bagi kalangan mampu, belanja untuk keperluan elpiji sangat kecil nilainya dibandingkan kebutuhan mereka yang lain. Survey pertamina pada pengguna elpiji 12 kg menyebutkan pengeluaran untuk elpiji menduduki posisi terendah dibandingkan pengeluaran untuk komponen lainnya. Meski harga naik, kebutuhan untuk elpiji rumah tangga mampu tak ada setengah dari belanja pulsa lho. Jadi, mereka harus lebih bijak untuk tak ikut-ikutan menikmati gas bersubdisi yang bukan menjadi haknya.

Kalangan mampu ini juga kaum yang melek informasi dan sangat aktif di media sosial. Sikap mereka banyak menjadi rujukan media yang bisa mempengaruhi kebijakan. Cuitan mereka di media sosial bisa menjadi bola salju yang menjadi trending topic, diberitakan besar-besaran, menarik simpati, menerbitkan benci bahkan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kekuatan ini harus digunakan dengan jernih untuk mendukung berbagai kebijakan publik yang baik.

Sementara itu, kenaikan LPJ ini juga memberikan pelajaran penting bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka selama ini merupakan golongan yang paling banyak menjadi sasaran dan dimanjakan dengan pemberian subsidi, termasuk subsidi gas. Padahal, masyarakat menengah ke bawah terutama yang ada di pedesaan harusnya tidak dipusingkan dengan kenaikan harga gas. Pasalnya, disekeliling mereka ada sumber energi melimpah yang bisa membuat dapur ngebul. Kayu bakar masih melimpah dan jika kekurangan ada sekam padi untuk bahan bakar kompor. Potensi biogas juga masih sangat mungkin dikembangkan di pedesaan.

Masyarakat bawah juga harus ikut dalam proses 'revolusi' ini. Mereka sudah seharusnya diberikan perhatian, hanya tak elok pula juga terus menerus dimanjakan. Masyarakat bisa berdikari kok, termasuk dalam memenuhi kebutuhan sumber energinya. Dimana ada kemauan, plus diberikan dukungan, semua itu bukan hal yang tak mungkin dilakukan.

Jadi, kita bisa mengambil sisi positif dari kebijakan Pertamina menaikan harga elpiji 12 kg bahwa perlu kesadaran masal dan revolusi mental dari presiden sampai rakyat jelata bahwa sudah saatnya kita memanfaatkan kekayaan negeri untuk kemakmuran segenap rakyat kita sendiri. Sudah bukan jamannya kita tergantung impor disaat kita sendiri banyak sumberdaya alam. Sudah saatnya kita berdikari dan berdaulat. Mari kita mulai dari berdikari dan berdaulat dalam urusan yang paling mendasar, urusan membuat dapur ngebul!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun