Mohon tunggu...
Ignatius Tri Endarto
Ignatius Tri Endarto Mohon Tunggu... Penghayat Kehidupan -

Penggemar Linguistik, Filsafat, dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tinjauan Gramatika Pidato Penistaan Agama Ahok

15 Maret 2017   12:26 Diperbarui: 15 Maret 2017   20:01 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok dalam sidang lanjutan ke-10. (Sumber: megapolitan.kompas.com)

Beberapa waktu lalu ramai dibicarakan sosok Prof. Mahyuni, peneliti bahasa sekaligus saksi ahli dalam persidangan kasus penistaan agama yang dijalani Basuki Cahaya Purnama atau yang akrab disapa Ahok. Ahli bahasa tersebut menyatakan bahwa ada atau tidaknya kata “pakai” dalam tuturan yang diucapkan Ahok sama sekali tidak berpengaruh terhadap makna kalimat. Apakah benar demikian? Benarkah Ahok melakukan penistaan agama seperti yang dituduhkan selama ini?

Jika kita menilik kembali pidato Ahok di Kepulauan Seribu, yang sering dijadikan permasalahan adalah kalimat yang berbunyi “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu.” Frasa “dibohongi pakai Surat Almaidah 51” inilah yang saat ini menjadi pangkal polemik, karena Buni Yani dalam transkrip buatannya tidak mencantumkan kata “pakai.”

Secara pemaknaan, “pakai” merupakan bentuk kata percakapan tidak baku yang biasa digunakan untuk menyatakan fungsi keterangan alat. Kita dapat menganalogikan frasa “dibohongi pakai Surat Almaidah 51” dengan keterangan alat yang lain, contohnya “disuapi pakai sendok,” atau “disirami pakai gembor.” Dalam hal ini “Surat Almaidah 51,” “sendok,” dan “gembor” ketiganya memiliki fungsi sintaksis yang sama, yaitu sebagai alat atau instrumen yang digunakan untuk melakukan suatu tindakan. Fungsi instrumen ini dalam kalimat Ahok diindikasikan secara jelas melalui penggunaan kata “pakai.”

Menurut Prof. Mahyuni, ihwal penggunaan kata “pakai” dalam kalimat Ahok sifatnya opsional dan tidak mempengaruhi arti. Maka ungkapan Ahok (“dibohongi pakai Surat Almaidah 51”) dengan transkrip Buni Yani (“dibohongi Surat Almaidah 51”) menurut beliau memiliki makna yang relatif sama. Benarkah seperti itu?

Secara gramatika, diksi-diksi seperti “Surat Almaidah 51,” “sendok,” dan “gembor” merupakan nomina inanimate (kata benda yang tidak dapat melakukan suatu tindakan/aksi). Karenanya, fungsi kata “pakai” dalam konteks tersebut mutlak diperlukan guna menyatakan keterangan alat. Sama halnya dengan “disuapi sendok” dan “disirami gembor,” frasa “dibohongi Surat Almaidah 51” dalam transkrip Buni Yani secara tata bahasa bersifat rancu. Contoh tuturan yang lebih tepat adalah “disuapi ibu (pakai sendok),” “disirami ayah (pakai gembor),” dan “dibohongi orang (pakai Surat Almaidah 51),” karena masing-masing dari kata “ibu,” “ayah,” dan “orang” merupakan nomina animate (kata benda yang dapat melakukan suatu tindakan/aksi).

Apakah benar bahwa Ahok melakukan penistaan agama? Jika beliau mengatakan “Surat Almaidah 51 adalah bohong” pastinya kita tidak perlu berdebat, karena dalam hal ini Ahok secara jelas telah melakukan penistaan. Akan tetapi kata-kata yang muncul dari mulut Ahok adalah “dibohongi pakai Surat Almaidah 51.” Apabila kita meninjau kembali kata kerja yang digunakan, “dibohongi” merupakan bentuk pasif dari verba “membohongi.” Penggunaan bentuk pasif dalam tuturan Ahok tersebut mengandung 2 makna: yang pertama adalah penekanan pada pihak yang dibohongi (dalam konteks ini adalah audiensi (audience) pidato Ahok pada waktu itu); dan yang kedua adalah penghilangan Subjek pelaku tindakan membohongi (fungsi pelesapan Subjek pelaku ini sering digunakan dalam bahasa satir dan sindiran; memiliki sifat menetralisir dan memberikan kesan bahwa kata-kata Ahok saat itu tidak secara langsung dan frontal ditujukan bagi pihak tertentu).

Baik verba “membohongi” maupun “dibohongi” keduanya memiliki sifat yang intensional (mengandung unsur kesengajaan–unsur tipikal yang hanya dapat disematkan pada kata benda animate seperti “ibu,” “ayah,” dan “orang”). Karenanya, pertanyaan yang lazim muncul pastilah: “siapa yang membohongi?” atau “dibohongi oleh siapa?” dan bukan “apa yang membohongi?” atau “dibohongi oleh apa?” Dengan demikian kasus yang seharusnya lebih tepat dihadapkan kepada Ahok adalah bukan penistaan terhadap Surat Almaidah 51, tetapi penistaan terhadap orang/pihak yang membohongi (pakai Surat Almaidah 51).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun