Mohon tunggu...
Ignatius Anggoro
Ignatius Anggoro Mohon Tunggu... -

Saya seorang Pekerja Sosial Kemanusiaan di Indonesia yang berkarya di ujung Kalimantan Barat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Politik Mempengaruhi Alam Bawah Sadar

9 Oktober 2014   01:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:49 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masih segar diingatan kita bagaimana politik Indonesia memulai gegap gempitanya pada saat jaman Reformasi di akhir 1997-1998. Sejak itu, perubahan situasi politik terus menerus berubah temperaturnya. Saat Orde Baru, hanya ada 3 warna dan masyarakat berada pada alam yang statis. Ketika masuk orde Reformasi, banyak pahlawan politik bermunculan. Kita masih ingat Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Pius Liustrilanang, (alm) Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan masih banyak lagi. Mereka menguasai politik masa Reformasi.

Orde Reformasi sekaligus merupakan orde kebebasan pers, karena keran media informasi sungguh sangat terbuka. Banyak media baru terbit. Tetapi banyak juga yang akhirnya berhenti beroperasi karena hanya bermodal semangat. Banyaknya media dan terbukanya informasi, menyebabkan rakyat lantang bersuara. Semua ingin terbuka dan bersuara. Rakyat mulai terbiasa untuk bicara politik dan berkomentar tanpa takut diculik.

Setelah masa kepemimpinan SBY yang pertama dan kedua, politik terus berjalan dengan dinamis. Keberhasilan SBY yang memberikan warna baru dalam politik praktis, menjadikan masyarakat (secara tidak sadar) semakin melek politik. Terlebih setelah era internet semakin maju teramat pesat. Media sosial semakin menjadi lumrah. Bahkan anak di desa pun bisa menjadi anggota dari Facebook, Twitter bahkan Path, Instagram dan lain sebagainya. Masyarakat semakin mudah bersuara. Semakin mudah pula mengkritik.

Puncak semuanya itu adalah saat Pemilihan Legislatif 2014. Semenjak Jokowi dipastikan menjadi Calon Presiden, dan secara terbuka menjadi kompetitor Prabowo Subianto, secara tidak terduga terjadi perubahan drastis di masyarakat. Masyarakat semakin reaktif. Terjadi jurang pemisah yang sangat lebar diantara kedua pendukung. Yang menarik adalah masyarakat juga memiliki peran yang sangat kuat dalam 'melebarkan' jurang tersebut. Media sosial yang memunculkan banyak sekali account kedua calon menjadi ajang saling komentar. Sangat sering terjadi, banyak komentar yang justru merupakan hinaan, cacian, cemooh bahkan fitnah.

Masyarakat menjadi sangat reaktif memberikan komentar seketika itu juga jika ada posting yang mendukung atau menghina calon tertentu. Penulis memperhatikan di account Facebook kedua calon, setiap orang pendukungnya sangat aktif memposting. Setiap posting selalu mendapat response dalam hitungan detik. Apabila posting berbau kontroversial, biasanya menjadi primadona karena akan banyak yang meng-like dan memberikan komentar. Bahkan setelah Presiden sudah terpilihpun, sampai Pimpinan DPR/MPR terpilihpun, masyarakat masih sangat reaktif.

Gejala reaktif ini sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, ketika banyak orang selalu memantau dan langsung memberikan komentar terhadap setiap posting, akan terus menggerakkan alam bawah sadarnya untuk tidak mau melepaskan komunikasi dengan dunia maya bahkan sekejap. Ketergantungan untuk terus menjadi reaktif dapat mempengaruhi karakter (walaupun ini bisa diperdebatkan). Apabila ini terus terjadi, tentunya akan berdampak pada kehidupan sosialnya.

Pikiran Bawah Sadar yang disebut juga "Alam Bawah Sadar" adalah bagian pikiran manusia yang tidak disadari keberadaannya, namun pengaruhnya sangat besar. Memanfaatkan "Alam Bawah Sadar" biasanya dihubungkan dengan faktor yang mempengaruhi kesuksesan seseorang. Kemampuan manusia yang dapat mengoptimalkan kerja "Alam Bawah Sadar"-nya akan memberikan dampak pada pencapaian hidup seseorang tersebut.

Dengan penjelasan singkat tersebut, dapat kita pahami pentingnya "Alam Bawah Sadar" sungguh dioptimalkan secara positif. Sindrom reaktif yang ditunjukkan melalui response kejadian politik saat ini, perlu menjadi early warning system bagi kita. Kemampuan mengelola informasi yang bisa dikomentari atau bahkan membuat posting positif akan menolong mengembalikan keseimbangan "Alam Bawah Sadar" kita. Jika sebelumnya kita terdorong untuk reaktif, mari kita kembalikan keseimbangan tersebut menjadi 'responsif'. Politik itu seharusnya memberikan keseimbangan hidup bukan menghancurkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun