“Kalau genggam pasir jangan terlalu keras, dek, nanti jatuh semua.”
Aku berusaha mencerna dengan baik kata-kata kakakku, sambil asik bermain dengan pasir-pasir yang mulai memasuki jariku perlahan. Aku menenggelamkan kakiku ke dalam tumpukan pasir yang hangat dan menutupnya dengan pasir-pasir di sekitarku yang kuambil melalui genggaman demi genggaman kecil. Keras, aku menggenggamnya. Namun, pasir yang kugenggam dengan cepat keluar dari tanganku dan hanya sedikit pasir yang berhasil ditumpahkan untuk menutup kaki kecilku.
“Dek, kan kakak udah bilang. Genggamnya biasa aja, jangan keras-keras.”
Entah bagaimana, setiap aku kebingungan melihat pasir-pasir di sekitarku, kakakku selalu berhasil mendapatkan momen itu untuk diabadikan dalam sebuah foto, dan menghampiriku hanya untuk menyampaikan satu kalimat yang kurang berarti.
Aku berpikir, bagaimana bisa genggaman keras membuat pasir-pasir itu keluar. Sambil terus menatap pasir-pasir tersebut yang memang terlihat keluar dari genggamanku, aku merenung. Seharusnya, semakin keras genggamanku, dia semakin aman. Dia semakin terjaga. Namun, kenapa hal itu tidak berlaku dengan pasir-pasir di tanganku?
“Dek, mungkin ini terlalu berat buat kamu. Tapi gini.. Lihat foto ini,” kakakku menunjukkan hasil foto genggaman tanganku bersama dengan pasir-pasir di dalamnya sekaligus pasir yang jatuh juga.
“Pasir dan genggamanmu diibaratkan sebagai hubunganmu dengan orang-orang, entah dengan keluargamu, sahabatmu, atau nanti kalau adek udah punya pacar. Kalau pasir itu tetap ada di tangan adek dan digenggam biasa aja, atau adek cukup membuka tangan ke arah atas sambil menahan pasir-pasir itu, dia tetap ada disitu, kan?”
Aku mengangguk, sambil menyimak kata demi kata yang terucap.
“Coba sekarang genggam tangannya lebih keras. Pasirnya mulai jatuh, tuh, dari sela-sela jari-jari adek. Masih ada sih yang tetep tahan di tangan kamu, dek, tapi pasti banyakan yang jatuh. Benar gitu?”
Kembali, aku menganggukkan kepalaku.