Mohon tunggu...
Ignatia Sarita
Ignatia Sarita Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang dilihat, mengungkapkan apa yang dirasakan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Belajar dari Genggaman Pasir

15 Januari 2016   21:16 Diperbarui: 27 Desember 2016   16:35 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sama halnya kaya hubunganmu sama orang-orang, dek. Kalau dibebasin, jadi ga terlalu menutup diri dan ga terlalu menahan sekeras tenaga, dan tentu saja saling hormat, dia akan tetap ada disitu dalam keadaan yang baik. Tapi, kalau kamu terlalu merasa memiliki, terlalu memaksakan semua-semuanya harus sesuai mau kamu, terlalu mengekang jalannya suatu hubungan, hubungan yang seperti itu lama-lama akan hilang bagaikan pasir-pasir ini hilang dari genggaman tangan adek.”

Aku diam tercengang. Membayangkan pesan yang disampaikan oleh kakakku.

“Ada perumpamaannya lagi, dek. Misal, kamu punya suatu barang nih. Barang itu bisa benar-benar berupa barang, atau bisa berupa informasi penting yang kamu punya, atau talenta kamu, banyak deh lainnya. Kalau kamu terlalu egois dan nggak mau berbagi sama orang lain, lama-lama dia nggak akan terpakai dengan baik dan ujung-ujungnya fungsinya akan hilang. Tapi kalau kamu menerimanya dengan penuh syukur, bersikap terbuka gitu mau berbagi, dia akan tetap ada disitu dan jadi berkat buat banyak orang. Kalaupun adek mau pake pasir itu buat numpukin kaki adek, jadi utuh kan pasirnya?”

Aku sungguh bersyukur mengenai apa yang aku pelajari hari ini. Satu hal yang sederhana, namun di dalamnya terdapat beberapa perumpamaan yang berguna untuk kehidupanku kelak.

Aku membersihkan tubuhku dari pasir, membereskan barang-barang yang aku bawa, dan pulang dengan hati yang bahagia serta ‘lumbung pengetahuan’ yang kembali terisi.

"Jangan digenggam terlalu keras pasirnya, genggam biasa saja, nikmati, dan syukuri pasir yang ada di tanganmu," pikirku dalam hati, diikuti dengan senyum yang tulus.

***

(Perenungan nyata yang alur, setting, dan tokohnya diubah. Mungkin lebih bisa dianggap sebagai fiksi. Penggunaan tokoh kakak dan adik/adek karena menurut saya kakak adalah seorang yang bisa menyampaikan cerita pada adiknya dengan cara yang sesuai dan mudah dicerna.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun