Ben berjalan di tepian pantai seperti biasa ketika senja mulai tiba. Badannya yang hitam manis tampak berkilau diterpa mentari senja. Kali ini ia tak sendiri, ia ditemani Rony teman barunya yang baru pindah dari kota. Rony merasa senang ikut bersama Ben yang terkenal sebagai anak laut itu.
Sepanjang hari Ben bergelut dengan ombak. Dini hari ia sudah membantu pamannya turun ke laut mencari ikan. Sejak kedua orangtuanya meninggal terseret tsunami tiga tahun lalu ia hidup bersama Fred pamannya yang seorang nelayan.
“Ayo Ron ikut aku… kutunjukkan sesuatu yang menakjubkan,” Ben berteriak memanggil Rony yang tengah asyik memainkan pasir pantai.
Sambil berlari-lari kecil Rony menyusul Ben yang mulai menuju karang besar dan kokoh di sebelah selatan pantai. Ben menarik lengan Rony memasuki celah karang yang sempit dan terlihat gelap menuju sebuah lubang semacam gua. Lubangnya sangat kecil, hanya setengah tubuh Ben yang kekar. Ketika mereka tiba di mulut celah karang yang menyerupai gua itu, tiba-tiba muncul air yang meluap menyeret tubuh mereka memasuki sebuah ruang yang indah.
“Lihat Ron…, ini yang ingin kutunjukkan kepadamu,” seru Ben para Rony yang masih terpaku karena kaget dan takjub. Puteri-puteri duyung mengelilingi mereka sambil membawa aneka makanan yang lezat. Rony makin takjub dan terbelalak namun perlahan ia mulai menikmati sajian para puteri duyung itu.
“Sejak orang tuaku meninggal terseret tsunami tiga tahun lalu, mereka yang memelihara aku. Mereka utusan orangtuaku Ron, itulah setiap senja aku selalu datang ke tempat ini meskipun aku dianggap gila, bahkan oleh pamanku sendiri karena ia tak percaya. Jika engkau bisa masuk ke tempat ini artinya orangtuaku menyukaimu. Terima kasih ya Ron,” ucap Ben sambil memeluk sahabat barunya itu.
"Kau beruntung Ben..., bagaimana engkau tahu mereka utusan orang tuamu?," Rony masih tertegun karena merasa seperti belum percaya dengan apa yang dialaminya bersama Ben.
"Melalui kalung gigi hiu yang kukenakan sejak lahir ini kawan..., aku juga merasa aneh tetapi dengan mengenakan kalung ini selalu ada getaran ketika aku mengalami sesuatu yang kurang baik. Seketika itu juga seolah ada yang menggiring aku ke tempat ini. Di sinilah aku dibawa oleh para puteri duyung. Mereka selalu menjaga aku, sekalipun aku harus terus hidup di daratan," Ben menceritakannya dengan muka sedih karena teringat kedua orang tuanya.