Mohon tunggu...
Politik

Apa yang Terjadi dengan UU MD3?

23 Februari 2018   19:58 Diperbarui: 23 Februari 2018   20:07 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti yang kita ketahui, akhir -- akhir ini terdapat isu baik maupun buruk mengenai UU MD3 yang telah disahkan oleh DPR dalam siding paripurna namun tidak ditanda tangani oleh Presiden Jokowi. Sikap Presiden Jokowi membuat beberapa pihak berfikir apakah maksud dan tujuan presiden tersebut. Pasalnya jika Presiden Jokowi menolak UU MD3 tersebut Ia harus membuat Perpu yang dapat membatalakan UU MD3 tersebut, namun pada kenyataannya Ia tidak membuat perpu untuk membatalkannya. Hal ini menimbulkan pro dan kontra dalam berbagai kalangan. 

Beberapa pihak politik menilai buruk mengenai Presiden Jokowi yang kurang tegas dalam mengambil keputusan. Bahkan ada yang menilai bahwa Presiden Jokowi tidak mengerti teknik pembuatan UU baru tersebut. Namun ada beberapa pihak juga yang menyetujui sikap jokowi tersebut karena menurutnya  UU MD3    bukan merupakan UU yang darurat sehingga tidak perlu membuat UU baru. Sikap presiden tersebut juga membuat sejumlah masyarakat resah, hal ini disebabkan karena UU tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan Negara sedangkan apapun yang akan terjadi dalam Negara merupakan tanggung jawab seorang Presiden. Berikut adalah tanggapan -- tanggpan yang tidak menyetujui sikap Jokowi.

Menurut Ketua DPP Demokrat, Fandi Utomo menilai langkah Presiden Jokowi menolak menandatangani Perubahan UU MD3 sebagai wujud buruknya komunikasi di antara pemerintah dan seharusnya Jokowi sudah tahu sejak awal isi pasal-pasal yang diubah dalam UU MD3, lantaran pemerintah juga terlibat di dalam pembahasannya melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dalam hal ini, Fandi menyarankan agar komunikasi di antara pemerintah diperbaiki dan Presiden Jokowi mendengarkan aspirasi masyarakat yang menolak perunaham UU MD3 dengan mengeluarkan Perppu.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menilai sikap Presiden Jokowi yang tak mau menandatangani perubahan UU MD3 karena tak paham dasar filosofi pasal-pasal yang ada di dalamnya. Di sisi lain, Ketua DPR, Bambang Soesatyo mengaku masih berharap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bisa menjelaskan kepada Presiden Jokowi tentang pasal-pasal yang ada di dalam UU MD3. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly sebelumnya mengungkapkan Presiden Jokowi terkejut dengan dengan sejumlah pasal dalam revisi UU MD3. Yasonna mengatakan Jokowi kemungkinan tidak akan menandatangani undang-undang yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR bersama pemerintah itu.

Sedangkan pihak yang cenderung mendukung jokowi yaitu Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti menyatakan Presiden Jokowi tidak bisa sebatas menyatakan sikap politik pribadi dalam menolak UU MD3. Gubernur Jakarta Periode 2012-2014 itu dinilai Bivitri turut bertanggung jawab terhadap pengesah UU yang berpeluang menjadikan DPR sebagai lembaga superbody tersebut. Bivitri tidak setuju jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu, lantaran UU MD3 tidak masuk dalam kategori kegentingan mendesak yang menjadi syarat dikeluarkannya Perppu dan menyalahi konstitusi.

Akibatnya, sampai saat ini perubahan UU MD3 belum bisa dikatakan sah. Sesuai dengan Pasal 20 ayat 5 UUD 45, perubahan UU MD3 bisa dikatakan sah tanpa tandatangan presiden setelah 30 hari disahkan DPR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun