Mohon tunggu...
Politik

Efek Media Sosial dalam Ruang Politik

20 Februari 2018   12:18 Diperbarui: 20 Februari 2018   12:27 3907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peran media sosial semakain penting seiring meningkatnya pengguna internet di Indonesia sehingga membuat warga Negara Indonesia semakin terpengaruh dengan perkembangannya. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya antusiasme dalam partisipasi politik dan digunakan sebagai ruang yang efektif untuk penyebaran berita palsu dan hoaks sehingga mendominasi berita politik Indonesia belakangan ini.

Salah satu partai yang menonjol dalam penggunaan media sosial sebagai penyebaran mengenai gagasannya adalah Partai Gerindra. Sejak pemilihan umum 2014, akun media sosial Gerindra memang jauh lebih rapi dengan pesan kampanye dan sistem komunikasi yang memusat dari atas ke bawah. Materi-materi kampanye bertumpu pada akun-akun resmi partai. Sejauh yang bisa diamati, apa yang dilakukan Gerindra ini setidaknya memiliki dua efek penting.

Pertama, media sosial memungkinkan partai berkomunikasi secara langsung dengan pemilih dan calon pemilih. Setidaknya ia menjadi ruang untuk merawat isu yang selama ini menjadi garis pembeda bagi posisi kelompok oposisi dan pemerintah.

Dengan karakter media sosial yang membuat orang mudah lupa, merawat isu dengan konsisten adalah cara untuk tetap diingat publik. Jejak digital akan diingat---atau diungkit---publik dan bisa digunakan sebagai senjata di masa pemilihan umum. Melihat fakta bahwa partai politik di Indonesia kerap hanya dirasakan kehadirannya ketika musim pemilu, "kehadiran" di media sosial setidaknya menjaga agar isu yang dibawa terus itu dekat dengan publik.

Algoritma media sosial, yang membentuk gelembung filter, sebenarnya akan menguntungkan partai yang bisa terus merawat isu-isu yang coba diusung. Lepas dari pelbagai sisi negatifnya, kecenderungan pengguna media sosial untuk mencari ide-ide yang sesuai pemikirannya, jika dirawat oleh partai, akan "mengeraskan" dukungan terhadap partai.

Kedua, media sosial adalah platform dengan kapasitas yang mampu melampaui peran media arus utama.

Ketika kampanye politik mulai diizinkan di televisi oleh pemerintah Orde Baru pada dekade 1990-an, masing-masing partai hanya mendapatkan jatah terbatas. Artinya, semakin sedikit waktu yang bisa mereka gunakan untuk menjangkau publik melalui media. Bahkan di era pasca reformasi, akses terhadap media akan ditentukan oleh sumber daya milik partai. Partai yang ketuanya adalah pemilik media seperti Perindo (Hary Tanoesoedibjo) dan NasDem (Surya Paloh) tentu mendapat keuntungan sendiri.

Demokrasi digital telah memecah kanal-kanal informasi sehingga tak terpusat di media arus utama. Peran media arus utama sebagai penjaga gawang (gatekeper) berhasil dijebol. Walhasil, partai lebih leluasa membangun citra diri yang diinginkan, tak seperti berita-berita di media arus utama yang akan di-framing sana-sini.

Dengan demikian, partai yang mengeluh diberitakan negatif di media arus utama adalah partai malas. Beragam kanal media sosial bisa menjadi ruang untuk menepis pelbagai berita negatif tersebut. Aneka peristiwa yang muncul beberapa tahun belakangan juga menunjukkan bahwa isu yang diangkat di media sosial bisa mendominasi ruang berita di media arus utama.

Efek kejut penggunaan media sosial akan lebih dahsyat jika partai didukung oleh oligarki media. Kita bisa ambil contoh dari suasana yang begitu panas dan brutal di media sosial selama Pilkada Jakarta tahun lalu. Suasana itu juga dibangun oleh berita-berita di televisi yang berpihak pada kandidat.

Di titik ini, sikap Gerindra yang aktif dan agresif di media sosial bisa dipahami. Ini langkah yang sangat strategis, khususnya jika yang disasar adalah generasi pemilih Milenial dalam pemilu 2019. Sebuah lumbung suara yang strategis, mengingat 34,4 persen penduduk Indonesia adalah generasi Milenial (kelompok usia 17-34 tahun, menurut data Saiful Mujani Research & Consulting).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun