Mohon tunggu...
Ignasius Haryadi
Ignasius Haryadi Mohon Tunggu... -

Suami seorang bidadari tak bersayap, ayah seorang putri jelita.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Timah dan Ajal Bangka Belitung

17 Mei 2015   21:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53 3940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_418182" align="aligncenter" width="570" caption="Penambang Timah di Bangka Belitung (KFK Kompas/Suherina Rina)"][/caption]

Sebagai seorang follower akun @susipudjiastuti saya tergelitik dengan cuitan beliau beberapa hari ini. Yang pertama mengenai pengakuan Susi bahwa ada pihak yang menawarkan uang sejumlah 5T jika ia mau walk away dari kabinet. Yang kedua, menteri nyentrik ini menyebut, wanita cantik berbaju gold silk taffeta beraksesoris lengkap menghampiri dirinya dan mengatakan, Bangka Belitung seumur-umur hidup dari timah. Kata-kata ‘Bangka Belitung seumur-umur hidup dari timah’ ini seketika mengingatkan saya akan kunjungan ke Bangka Belitung beberapa waktu lalu.

[caption id="attachment_384091" align="alignnone" width="734" caption="Cuitan Susi Pudjiastuti (https://twitter.com/susipudjiastuti)"]

1431872564851463545
1431872564851463545
[/caption]

Tahun lalu, saya berkesempatan untuk berkunjung ke Tanjung Pandan, Belitung. Ini adalah kunjungan kedua saya ke sini. Beberapa tahun sebelumnya saya sudah menginjakkan kaki di sini, juga di belahan pulau yang lain. Ada beberapa hal yang mencolok dari kunjungan saya ke Bangka Belitung (Babel) ini.

Pertama, bahwa masayarakat Bangka Belitung adalah penikmat kopi yang fanatik. Warung kopi begitu eksis di setiap penjuru kabupaten, dengan pusatnya di Manggar, ibukota Belitung Timur. Yang kedua adalah kebun sawit. Di berbagai wilayah, deretan pohon sawit menghampar sejauh mata memandang. Dari sinilah banyak warga menggantungkan nafkahnya. Ketiga, dan ini yang menjadi isu terpanas masyarakat Babel sejak dahulu kala: timah.

Ketika saya sampai di Tanjung Pandan, ternyata gelaran Pilkada baru selesai dilakukan. Hasilnya sungguh dramatis, pasangan calon pemenang unggul hanya berselisih hitungan beberapa ratus suara saja atau tidak sampai satu persen. Salah satu isu yang paling gencar mengemuka adalah penanganan persoalan timah. Kedua calon terpopuler kala itu terbelah dalam melihat permasalahan penambangan timah. Yang satu cenderung status quo dengan penambangan timah, satunya menawarkan wacana baru dengan lebih menitikberatkan kepada pemberdayaan masyarkat dalam sektor pariwisata.

[caption id="attachment_384098" align="aligncenter" width="560" caption="Wisata maritim di Bangka Beitung belum diberdayakan secara maksimal (pantai.org)"]

14318742462018133618
14318742462018133618
[/caption]

Calon yang status quo terhadap penambangan timahlah pemenangnya. Kala itu kasak-kusuk di masayarakat masih saya dengar, bahwa salah satu pengusaha kuat ibukota berada di balik sang pemenang pilkada. Ironisnya, isu money politic disinyalir menjadi faktor penentu kemenangan sang calon. “Berat Pak, melawan orang-orang ini. Padahal kita di sini sudah muak sama timah. Alam makin rusak, tapi kesejahteraan kita ya begitu-begitu saja.” kalimat bernada pasrah itulah yang saya dengar.

Indonesia adalah produsen bijih timah terbesar dunia, memproduksi sekitar 80 persen bijih timah dunia. Wilayah penyumbang logam yang sangat dibutuhkan dalam pembentukan komponen industri ini ya Bangka Belitung ini. Timah di Bangka Belitung sudah dieksploitasi sejak zaman Belanda, lebih kurang 300 tahun lalu. Tapi saya melihat sendiri, masyarakat Babel tetap miskin sampai sekarang. Harga-harga bahan kebutuhan pokok masih mahal, karena hampir semua komoditas harus diperoleh dengan mendatangkan dari luar pulau. Dan kini, kerusakan lingkungan akibat tambang timah di Bangka Belitung makin mengerikan.

[caption id="attachment_384095" align="alignnone" width="581" caption="Kapal Keruk Timah di Lepas Pantai Bangka (bangkafiles)"]

14318737691559711027
14318737691559711027
[/caption]

Beberapa tahun terakhir, penambangan timah yang lebih populer tidak dikerjakan di darat, melainkan di laut. Ini akibat dari makin menipisnya wilayah darat untuk dieksploitasi. Parahnya, tidak seperti kerusakan di darat, kerusakan di laut sulit dikontrol karena lubang-lubang bekas galian tersembunyi di dasar perairan.

PT Timah Tbk sebagai perusahaan resmi terbesar juga mulai memindahkan prioritas penambangannya ke daerah lepas pantai. Kapal yang dioperasikan hanya berjarak kurang dari 4 mil laut dari bibir pantai dan kedalaman 5–20 meter. Dapat diramalkan beberapa tahun ke depan, kegiatan penambangan timah di pantai akan semakin marak dilakukan mulai dari PT Timah Tbk (kapal keruk dan kapal hisap), perusahaan-perusahaan swasta skala menengah (kapal hisap) dan masyarakat (dikenal dengan sebutan TI Apung).

Dampak ekonomi penambangan timah ini sangat tidak sebanding dengan dampak ekologis yang dihasilkan. Sebagian besar keuntungan timah masuk ke kantong pengusaha besar dan para penyelundup timah. Beberapa warga yang bekerja sebagai penambang illegal atau dikenal dengan Tambang Inkonvensional (TI) hanya menjadi pion para cukong timah. Dan karena menggunakan peralatan seadanya, ancaman nyawa selalu mengancam. Dalam tahun 2012 saja lebih dari sudah 32 orang meninggal tertimbun lubang tambang rakyat di Bangka. Yang didapat mayoritas warga Babel adalah: hutan dan tanah porak poranda, air tercemar, ikan dan terumbu karang rusak.

[caption id="attachment_384093" align="aligncenter" width="480" caption="Data Korban Jiwa AKibat Penambangan Timah di Bangka (sumber: mongabay)"]

14318732641763931828
14318732641763931828
[/caption]

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan sampai beberapa hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang bekas galian merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan.

Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan hutan lindung. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi. Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau.

Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di bandara, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Bangka Belitung cukup tinggi.

[caption id="attachment_384094" align="aligncenter" width="540" caption="Hutan Bangka Belitung yang porak poranda akibat penambangan timah (antaranews)"]

1431873395778567669
1431873395778567669
[/caption]

Siapapun wanita cantik berbaju gold silk taffeta yang disebut Sudi Pudjiastusi rasanya hanya mewakili dirinya dan segelintir koleganya: para penajarah kekayaan alam. Bangka Belitung tidak hidup dari timah. Ia justru menuju ajal karenanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun