Beredarnya dokumen Keputusan Dewan Kehormatan Perwira memang mencengangkan. Menyingkap tabir rahasia yang selama ini ditutupi. Isinya tentu saja tentang apa saja yang menjadi pertimbangan Dewan Kehormatan Perwira dalam mengambil keputusan. Bunyi amar putusannya, sebagian besar orang juga sudah mengetahui: Karir militer Prabowo Subianto is dead alias tamat.
Namun ternyata ada hal yang terlewat menjadi trending topic. Apa itu? Nama-nama aktivis radikal dan PRD yang diculik dan ditangkap oleh Tim Mawar Kopassus besutan Prabowo Subianto.
Coba perhatikan nama-nama tenar ada di sana sebut saja Pius Lustrilanang, dan Desmond J. Mahesa. Mereka tenar dengan posisi wuenak mereka saat ini. Pius dan Desmond kini menjadi anggota Dewan yang terhormat.
Lalu apa yang aneh dengan mereka?
Kita sering dengar pengakuan korban penculikan bahwa mereka mengalami penyiksaan kejam yang melewati batas-batas kemanusiaan. Mereka dipukuli, ditendangi, disetrum, dan berbagai penyiksaan mengerikan lainnya. Beberapa bahkan hingga kini masih trauma bila mengingat kejadian yang mereka alami medio 1997-1998. Nah, antara hebat atau mencurigakan, Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa seolah tidak mengalami trauma itu.
Siapakah Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa?
Pius Lustrilanang dikenal sebagai aktivis sejak dia masih menempuh pendidikan. Alumnus Universitas Parahyangan Bandung ini mulai dikenal luas oleh publik setelah memberikan keterangan yang menggemparkan di hadapan Komnas HAM bahwa dirinya diculik oleh sekelompok orang yang dia yakini bukan mafia atau penjahat dan juga bukan polisi. Pius menduga ada faksi tertentu di militer (ABRI pada saat itu) yang ‘bermain’. Pius juga menyatakan bahwa ia tidak yakin Wiranto mengetahui aksi penculikan yang dialaminya.
[caption id="attachment_329452" align="aligncenter" width="524" caption="Pius Lustrilanang dalam jet pribadi (rimanews.com)"][/caption]
Desmond Junaidi Mahesa juga mulai dikenal ketika memproklamirkan bahwa dirinya menjadi korban penculikan pada tragedi 1997/1998. Dia ‘ditahan’ di lokasi yang sama dengan Pius Lustrilanang. Desmond tercatat pernah menjadi pembela Tommy Winata dalam kasus penyerangan kantor majalah Tempo. Ketika diculik, Desmond adalah Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara.
[caption id="attachment_329453" align="aligncenter" width="166" caption="Desmond J. Mahesa kini anggota DPR RI (javanews.co)"]
2 (dua) orang di atas, Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa, sungguhlah istimewa. Di balik pengakuan mereka bahwa mereka mengalami penyiksaan yang amat pedih, saat ini mereka tercatat berada di pihak yang dulu menurut mereka sendiri adalah pelaku penculikan terhadap mereka. Pius dihubungi oleh Mayor Bambang Kristiono yang pada sidang Mahkamah Militer mengaku sebagai Komandan Tim Mawar Kopassus untuk bergabung dengan Gerindra.
Pius juga menyatakan bahwa dia bertemu dengan Prabowo Subianto dan pada kesempatan itu Prabowo Subianto mengakui meminta maaf atas penculikan yang dialami oleh Pius Lustrilanang.
Desmond J. Mahesa saat ini juga diketahui sebagai politisi Gerindra, menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 dan terpilih kembali untuk periode 2014-2019 dari partai politik yang sama.
Nama korban penculikan lain yang bergabung atau setidaknya pernah bergabung dengan Gerindra adalah Haryanto Taslam dan Aan Rusdianto.
Fakta bahwa korban penculikan bergabung di barisan penculiknya adalah fenomena unik, aneh bin ajaib namun sebetulnya ada penjelasan yang masuk akal.
Dalam seni pertempuran, dikenal taktik decoy. Taktik ini mensyaratkan adanya pihak-pihak yang berfungsi untuk mengaburkan fokus lawan. Kasus penculikan aktivis 1997-1998, target sebenarnya adalah aktivis-aktivis yang hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya. Agum Gumelar meyakini para korban ini kemungkinan besar sudah tiada sedangkan Kivlan Zen lebih ekstrem lagi dengan menyatakan mengetahui lokasi terakhir para korban kemudian para korban ditembak dan dibuang.
Bisa jadi, aktivis-aktivis yang disebut dalam Keputusan Dewan Kehormatan Perwira inilah yang sebagian besar berfungsi sebagai pengalih perhatian. Tandanya jelas, mereka kembali dalam keadaan hidup dan justru bergabung dengan pihak yang mereka bilang melakukan penyiksaan kejam kemudian dimunculkanlah terminologi “Tim Lain” selain Tim Mawar Kopassus. “Tim Lain” ini mungkin sebenarnya tidak pernah ada.
Grand design penculikan dan pembunuhan aktivis-aktivis pro demokrasi itu dirancang dengan sangat cantik. Publik dibuat blur dengan berbagai pengalihan. Hasilnya, hingga saat ini kasus hilangnya 13 aktivis pro demokrasi masing-masing atas nama: Wiji Thukul, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser, belum terungkap.
Aroma implementasi taktik militer kuno yang dicetuskan oleh Sun Tzu, ahli strategi milter China kuno, juga terasa sangat kuat. Setidaknya yang paling jelas adalah taktik penggunaan mata-mata dan menipu langit atau decoy itu tadi.
Sun Tzu menyatakan bahwa komandan/jendral yang baik adalah mereka yang mengetahui kondisi dan situasi musuhnya. Pengetahuan awal merupakan syarat bagi seorang komandan/jendral untuk menaklukkan musuh. Disinilah peran mata-mata diperlukan.
Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa patut diduga bahwa mereka berfungsi sebagai mata-mata. Mereka ini dibekali dengan skenario saat mereka ‘dilepaskan’. Skenario ini dapat terlihat dari adanya persamaan dari keduanya dalam membeberkan penculikan mereka.
Pertama, mereka berdua sangat detil dalam menceritakan kronologisnya. Kedua, mereka menggunakan terminologi yang sama dalam menggambarkan ‘penyiksaan’ yang mereka alami: dipukuli, ditendang, dicelupkan dalam bak air,dan disetrum. Ketiga, skenario yang sama saat dilepaskan yaitu dengan diminta pergi ke luar Jakarta.
Keterangan Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa ini terasa aneh jika dibandingkan dengan keterangan Mugiyanto, salah satu korban penculikan yang selamat. Mugiyanto menyatakan bahwa dirinya masih mengalami trauma atas kejadian penculikan dan penyiksaan yang dulu dialaminya. Untuk mengatasi traumanya, Mugiyanto bergabung bersama keluarga para korban yang masih belum jelas keberadaan dan keadaannya hingga saat ini untuk memperjuangkan keadilan sedangkan Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa justru bergabung dengan penculiknya.
Terlalu naif pernyataan seorang Pius Lustrilanang yang menerima permintaan maaf dari penculiknya dan kemudian bergabung bersama mereka.
Lain halnya jika Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa memang termasuk dari orang-orang yang ‘ditugaskan’ untuk menyibak peta pergerakan aktivis pro demokrasi dengan cara menjadi bagian dari aktivis pergerakan itu sendiri. Kalangan mahasiswa pun tak luput jadi sasaran untuk dipecah oleh Prabowo Subianto. Demonstrasi tandingan dibuat dengan membenturkan mahasiswa dengan para pesilat, preman tanah abang, remaja mesjid, dan pemuda Tanjung Priuk . Siapa yang menghimpun massa tandingan ala Prabowo Subianto? dia adalah Fadli Zon , ‘pendamping’ Prabowo Subianto dikala suka dan duka. Pius, Desmond dan Fadli Zon mereka semua ini telah sukses dalam menjalankan misinya.
[caption id="attachment_329455" align="aligncenter" width="360" caption="Fadli zon, "]
Masuknya nama Pius dan Desmond dalam keputusan Dewan Kehormatan Perwira juga bukan tanpa maksud. Mereka terbukti selamat, sehat wal afiat, dan percayalah apabila Pengadilan HAM Ad Hoc digelar dengan menyeret Prabowo Subianto sebagai terdakwa, Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahesa akan tampil sebagai saksi korban yang justru menyelamatkan terdakwa dari hukuman. Tidak percaya? gelarlah Pengadilan HAM Ad Hoc itu dan lihat apa yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H