Terus terang saya terpana ketika menyaksikan video seorang anggota PPSU menyelam untuk membebaskan kebuntukan di sitem saluran air di Jakarta demi mempercepat turunnya genangan air. Mengingat banyaknya bakteria yang ada di kubangan air, saya sungguh berharap kalau Bapak dan keluarganya tersebut akan mendapatkan bantuan layanan kesehatan untuk seterusnya.. Mungkinkah Jakarta menjadi kota bebas banjir sehingga tidak seorang pun harus berkorban seperti itu ?
Banjir memang merupakan masalah besar Jakarta. Memang ada aspek kependudukan seperti hilngnya bantaran sungai untuk pemukimam tidak resmi, Â masalah sampah maupun betonisasi yang meghilangkan daerah resapan air Seberapa banyak dari kita yang masih menyisakan tempat terbuka dengan rumput dan tanah di petak rumah kita ? Â Namun bagi Jakarta masalah topografi, geografi fisik juga tidak dapat dilupakan. Sejak zaman dahulu, bahkan ada dalam beberapa prasasti, jakarta memang merupakan dataran rendah tempat menampung air dari pegunungan sekitarnya. Di satu hal tanah rendah ini ideal untuk pelabuhan namun hal ini juga berari bahwa Jakarta adalah daerah penampungan air dari wilayah sekitarnya. Rasanya VOC memilih Batavia sebagai pusat kegiatan utama karena topografi ini tidak terlalu berbeda dengan Negeri Belanda dan sejak akhir abad ke-15, mereka memang sudah memulai program menata bentuk alam supaya menjadi lebih ideal bagi kehidupan.
Faktor utama dari banjir 212 tidak lepas dari aliran air permukaan dari wilayah sekitar Jakarta, banjir kiriman. Untungnya sudah banyak daerah yang tidak terndam terlalu lama, namun bagaimana dengan daerah yang masih mengalami genangan air selama beberapa hari ? Untuk persoalan air permukaan tanah drainase vertikal dan memperbanyak area serapan (dengan menyisakan halaman berumput di rumah) memang tidak banyak membantu. Program normalisasi aliran sungai akan membantu dalam hal ini. Namun debit air sungai yang dapat dikendalikan tanpa meluap ke daerah sekitarnya tetap terbatas oleh kerena itu ketika Sunda Kelapa berdiri daerah ini adalah daera rawa-rawa. Karena solusi kelestarian lingkungan yang membuat daerah rawa tidak mungkin, maka hanya ada satu cara menghadapi masalah ini, yaitu memperkecil debit air permukaan sebanyak mungkin.
Kantung air seperti danau dan waduk dapat digunakan untuk meperkecil debit air ke Jakarta. Namun hal ini hanya efektif apabila dipersiapkan di Bogor dan Tangerang, sebelum topografi bumi membentuk lereng yang cukup tajam ke arah dataran rendah yang sekarang menjadi Jakarta. Kantung air ini juga akan berguna sebagai sarana untuk menyimpan air tawar untuk menyuplai kebutuhan Jakarta. Harapanya akan megurangi permintaan air sumber untuk dibotolkan. Artinya solusi ini akan menjawab dua permsalahan sekaligus.
Harus diakui membangun waduk juga bukan tanpa masalah.Â
Yang pertama adalah politik, kalau waduk-waduk ini dibangun di Tangerang dan Bogor, tentunya pemda DKI harus bekerja sama dengan pemda Jabar dan Banten. Ini adalah keharusan karena normalisasi sungai di Jakarta saja tidak akan pernah meyelesaikan masalah banjir secara tuntas. Embung air atau drainase vertikal di Jakarta berguna untuk menangani banjir yang disebabkan oleh hujan di Jakarta, bukan banjir kiriman.Â
Yang kedua adalah masalah lingkungan hidup. Membangun waduk buatan berarti merubah lingkungan hidup yang mungkin berdampak negatif. Yang paling jelas, ketika aliran sungai diperlambat maka rakan menimbulkan resiko tumbuhnya eceng gondok yang bisa merubah keseimbangan ekosistem. Dalam hal ini memang dibutuhkan kajian yang mendalam untuk tata letak waduk. Namun ini adalah suatu hal positif karena akan membuka sebuah tema riset lingkungan hidup yang berguna untuk membangkitan dunia penelitian di Indonesia
Yang ketiga adalah masalah sosial ekonomi. Apabila waduk akan difunsikan sebagai tempat penyimpanan air tawar, maka dibutuhkan kebijkan yang menjamin tidak ada kegiatan pencemaran dihulu. Artinya akan ada aspek ekonomi daerah yang terperngaruh. Hal penting lainnya adalah aspek sosiologis pendudk dimana waduk akan di bangun. Masih banyak yang ingat dengan kedung Ombo ?
Akankah ini terlaksana ? Mudah-mudahan.Â
Saya dibesarkan di Surabaya utara yang dari tahun ke tahun mengalami banjir (istliah Soni adalah gengan karena memang hanya beberapa jam saja) yang tambah parah. Seringkali ketika pulang kampung saya harus melihat rumah masa kecil yang masih ditinggali orang tua yang sudah bertambah tua bekerja keras membersihkan rumah pasca banjir ..... Saat yang sama saya kerap kali mendatangi waduk air disekitar tempat tinggal kami untuk berjalan-jalan dan bermain bersama anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H