Beberapa hari yang lalu Kompas memuat pujian Jokowi untuk CN-235 yang diunggahnya di facebook. Terus terang saya merasa senang karena si kuda tua CN-235 saat ini mulai mendapatkan apresiasi yang seharusnya di Indonesia. Bahkan pemerintahan Orde Baru yang menelurkan CN-235 sebagai salah satu tonggak dirgantara Indonesia, yang penerbangan perdananya memberikan kesan mendalam sebagai pelajar SD di tahun 1983, hampir tidak pernah memberikan pujian yang tinggi untuk pesawat yang satu ini. Hal ini disebabkan karena di masa itu (tahun 1990-an) pemerintah lebih mengutamakan proyek prestisius N-250. (http://www.kompasiana.com/ignacio/5990e8a3894eb1441a3df0e3/n250-dalam-kacamata-teknologi-nasional). Bahkan saat itu Chief Engineer (Kepala Program) N-250, yang terus terang agak kacau balau  namun dapat menjadi tonggak perayaan kemerdekaan RI ke 50, menduduki posisi setingkat direcksi di PT IPTN (Nama lama PT DI). Mau tahu dimana posisi kepala proyek pesawat kertas N-213o saat itu yang dikarbit di DASA (sekarang Airbus Jerman) dan Boeing ? Juga setingkat direksi!. Sementara itu, kepala program CN-235 yang sudah memasuki proses produksi hanya menduduki tingat dibawah direksi. Maka tidak mengherankan kalau di-tahun-tahun yang lalu masyarakat Indonesia sekalipun sempat men-sinonim-kan pesawat terbang ini dengan beras ketan dari Thailand. Kuda perang yang satu ini memang sempat menjadi seekor keledai dimata masyarakat Indonesia sendiri.
Apresiasi Teknologi
Haruslah diakui, kalau proyek CN-235 juga memiliki aspek aspirasi penguasaan teknologi kedirgantaraan yang akan memberikan prestise politik bagi Indonesia. Namun program ini memiliki unsur prgamatisme dalam arti memiliki potensi untuk memberi sumbangan ekonomi ketika diluncurkan di akhir tahun 1970-an. Dalam hal ini CN-235 memiliki banyak persamaan dengan program kebangkitan PT DI melalui proyek N-219 Â (http://www.kompasiana.com/ignacio/5999cd518d6c997cba4e5732/n219-sebuah-rekayasa-pragmatis). Keduanya memiliki persamaan lain yaitu C-212 sebagai orang tuanya.
Proyek CN-235, pada mulanya dikerjakan oleh perusahaan patungan CASA (sekarang bagian dari Airbus Spanyol) dan Nurtanio (kemudian menjadi PT IPTN dan sekarang PT DI). Rekayasa pesawat ini berangkat dari C-212 yang saat itu merupakan produk CASAyang terlaris sehingga tidak mengherankan kalau di tahap ini Chief Engineer keseluruhan proyek juga berasal dari CASA sebagai partner senior. Pesawat tersebut diarahkan untuk menjadi pesawat utilitas yang lebih besar daripada C-212. Dalam hal ini saya pribadi menilai ada dua inovasi terpenting, yaitu rancangan roda pendarat utama dan pintu kargo di bagian belakang. Sebagai catatan bagian belakang CN-235 dan sayap mulai dari mesin ke ujungnya saat itu menjadi porsi Nurtanio. Avionik dan mesin pesawat terbang memang mengandalkan teknologi dari AS.
Rancangan pintu kargo bagian belakang memiliki pintu yang terbuka kebawah sehingga dapat berfungsi sebagai bidang  miring untuk menaikan muatan, termasuk mobil kecil sekelas jeep. Pintu ini juga dapat dibuka ketika terbang untuk menerjunkan kargo (airdrop) dan pasukan terjun payung. Ada catatan menyedihkan disini, yaitu meninggalnya pilot kepala penguji PT IPTN ketika CN-235 yang diterbangkannya untuk pengujian airdrop jatuh karena sistem parasut untuk menjatuhkan muatan rusak di tengah jalan sehingga kargonya menyangkut di dekat pintu yang mengakibatkan pesawat tersebut kehilangan keseimbangan. Dengan kata lain CN-235 merupakan miniatur pesawat terbang C-130 Hercules.
Dari sudut pandang aerodinamis, kedua inovasi CN-235 di atas memang cukup memberi masalah. Pertama kantung tempat menyimpan roda yang tidak speneuhnya tertutup, bahkan dengan roda yang setengah keluar gaya hambat yang lebih besar daripada rancangan tertutup seperti di ATR-42. Yang pertama, pintu kargo yang gepeng dan terangkat keatas menyebabkan aliran udara tidak dapat menempel ke badan pesawat selamanya, seperti ditunjukan oleh garis hitam yang menunjukan streamline di foto. Akibatnya aliran udara disini mengalami stagnasi seperti ditunjukan oleh streamline hitam yang melingkar sehingga menaikan gaya hambat pesawat terbang. Bentuk pintu kargo yang gepeng (C-130 dibuat lebih lengkung) juga menyebabkan terbentukanya pusaran di sisi kiri dan kanan pintu seperti ditunjukan oleh dua pasang streamline merah dan jingga. Pasangan di kiri dan kanan ini tidak terjadi secara simetris sepanjang waktu melainkan terbentuk dengan kekuatan yang bergantian. Artinya bagian belakang peswat cenderung untuk oleng ke kanan dan kekiri. (Ada yang pernah membonceng teman bersepeda dimana sang teman selalu mengubah berat badannya dari kanan dan kekiri ?) . Pasangan pusaran ini juga membuat airdrop maupun terjuan payung menjadi berbahaya. Untuk mengatasi permasalahan ini, CN-235 memasang sepasang sirip  seperti ditunjukan di-foto. Namun sirip ini tentunya juga menjadi sumber gaya hambat yang baru.
Uraian permasalahan aerodinamis diatas menjadikan CN-235 bukanlah pesawat ideal untuk mengangkut penumpang bagi maskapai penerbangan reguler yang menempuh trayek jarak jauh. Kareana gaya hambat yang tinggi tentu saja harus diatasi dengan daya mesin yang tinggi, artinya tentu saja pemakaian bahan bakar yang tinggi pula. Tidak mengherankan apabila Merpati seringkali mengeluh mengenai mahalnya beaya operasional CN-235.  Konon kabarnya Merpati menggunakan CN-235 untuk penerbangan jalur Medan -Papua. Kalau ini memang benar, tentu saja sebuah kekonyolan dari segi ekonomis. Yang harus diingat, CN-235 dirancang sebagai pesawat utilitas penerbangan perintis. Tentu saja rancangan ini jauh lebih cocok bagi militer dan pasaran sipil untuk penerbangan perintis yang kecil. Pangsa pasar pesawat ini jelas: untuk memenuhi kebutuhan tarnsportasi di  tempat yang memeiliki landasan kecil sehingga tidak dapat dilayani oleh  Hecules ataupun G-222. (G-222 saat ini menjadi C-27 dan ukurannya  sekelas dengan C-295, adik bongsor CN-235). Sangat cocok untuk pedalaman Indonesia dan Afrika.
Dimensi Politik, Eknomi dan Nasionalisme
Haruslah diakui bahwa Indonesia (melalui PT DI) tetap belum memetik banyak manfaat dari CN-235. Secara pribadi saya melihat hal ini sebagai kesalahan Orde Baru untuk memberi momentum awal. Hal ini diperparah dengan buntut krisis ekonomi tahun 1998 yang dilanjutkan oleh politik omong doangsoal nasionalisme di era SBY. Ilustrasi saya pakai disini dengan gamblang memperlihatkan skala permasalahan ini. Disini tampak dengan jelas kalau PT DI hanya menjual sekitar 80 unit dari 300-an unit CN-235 yang ada didunia sejak tahun 1980-an. Padahal daftar pemakai CN_235 termasuk Angakatan bersenjata AS! Karean CN-235 membutuhkan landasan yang pendek, AS banyak menggunakan peswat ini untuk operasi militer khusus. Indonesia bisa saja mengembargo AS apabila pesawat tersebut dibeli dari PT DI (IPTN) . Pendeknya hanya sekitar 25% pasar CN-235 memeberi keuntungan besar ke PT-DI. Memang harus dicatat kalau setiap CN-235 memiliki komponen yang dibuat oleh PT DI, namun pihak yang menjadi pemilik proyek penjualan akan mendapat keuntungan yang lebih besar. Sebagai catatan Airtech sudah lama ditutup dan pemasaran CN-235 menjadi kebijakan CASA dan IPTN yang terpisah. Di masa lalu seringkali IPTN dan CASA bersaing untuk menjual CN-235 di pasar yang sama.