Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saatnya untuk Mengapresiasi Tesis Samuel Huntington

23 Desember 2016   07:17 Diperbarui: 23 Desember 2016   07:56 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam itu saya terkesima ketika tajuk berita jam 10 malam BBC diisi dengan tajuk berita pembunuhan Dubes Rusia di sebuah Galeri seni di Ankara, Turki dan ulangan kejadian teror dengan truk di Berlin, Jerman. Latar belakang kedua kejadian itu memang berbeda, namun terdapat satu ikatan benang merah yang merangkai dengan berbagai kejadian di tahun 2016. Semua hal ini mengingatkan saya kembali akan thesis Samuel Huntington yang dikembangkan sepanjang dekade 1990-an sehingga akhirnya dibukukan dengan judul "The Clash of Civilization" di awal tahun 2000-an, seperti tulisan beliau yang terawal dalam mengembangkan thesis ini.

Terus terang "Clash of Civilization" bukanlah thesis yang memberi perasaan enak ketika dibaca walaupun gaya penulisannya sangat enak dan argumennya sangat logis. Mengapa ? Salah satu tema sentral yang ditulis adalah "Islam Bloody Borders" yang menilik berbagai konflik yang terjadi saat itu di perbatasan dunia Islam mulai dari Bosnia di Eropa, Sudan, Timur Tengah, Afghanistan... Ketika membaca saya terus terang teringat dengan konflik Maluku di akhir 1990-an. Tema sentral inilah yang membuat kalangan akademisi dan diplomatik liberal di dunia Barat cenderung untuk mengkotakan Huntington sebagai berhalan agresif... Tema yang menyinggung perasaan in pula yang membuat pemikiran di Asia termasuk Indonesia cenderung melupakan thesis ini. Namun kalau anda sudah membaca secara lengkap maka cukup jelas kalau tema ini sekedar menyajikan fakta, tanpa ada maksud menghasut masalah SARA.

Suriah adalah faktor utama yang menghubungkan insiden di Berlin dan Ankara. Kejadian di Ankara yang dilatarbelakangi oleh ketersingungan pelaku akan operasi militer Rusia di Aleppo, Suriah nyaris sama persis dengan argumen Huntington dalam membahas insiden di Timur Tengah. Pelaku teror di Berlin yang berasal dari Tunisia masuk ke Jerman sebagai salah satu pengungsi yang membanjiri Eropa dalam dua tahun belakangan ini yang dimotori oleh konflik di Suriah.

Apakah nasehat utama Huntington bagi para politisi di Barat ? 

Yang pertama, dari segi politik luar negeri tidak banyak yang dapat dilakukan. Dalam pandangan dunia, politik luar negeri Barat akan selalu tercemar oleh imperialisme masa lalu. Bangsa-bangsa yang terbentuk setelah perang dunia ke dua (khususnya di Timur Tengah) tidak pernah lupa akan efektifitas imperialsime saat itu yang menghancurkan harga diri mereka. Jujur saja, di Indonesia sekalipun kita ikut merasa puas ketika Rusia berhasil mengalahkan kaum pemberontak dukungan Barat di Aleppo. Cukup banyak pula orang Indonesia merasa senang ketika mendengar bangkai kapal perang Inggris dan Belanda di laut Jawa yang dianggap sebagai taman makam pahlawan bagi kedua negara itu lenyap dijadikan besi tua. 

Singkatnya sikap politilk luar negeri apa pun yang diambil Barat akan salah. Ketika George Bush melancarkan operasi militer ke Afghanistan sebagai reaksi 911, banyak orang, termasuk di Indonesia yang menggangapnya sebagai bukti agresi Barat. Ketika Obama memutuskan untuk tidak mencampuri konflik Suriah lima tahun lalu, kembali banyak orang termasuk di Indoensia menganggapnya sebagai contoh standar ganda. Singkatnya sikap apapun akan menjadi buah simalakama

Yang kedua, politisi harus mengambil sikap asertif untuk kepentingan dalam negeri, meskipun menuai cibiran dari pihak lain. Rasanya kejadian di Berlin akan melemahkan posisi Bunda Angela Merkel yang memudahkan masuknya pengungsi timur tengah ke Jerman. Memang dari sejuta pengungsi hanya segelintir yang menjadi teroris (setidaknya saat ini hanya 1) namun orang akan menganggap apabila tidak ada satupun yang diperbolehkan masuk, maka teror Berlin tidak akan terjadi. Sikap asertif ini mulai tumbuh di kalangan rakyat biasa di negara Barat. Hal ini terlihat jelas dengan fenomena Brexit di Inggris (salah satu faktornya adalah tuntutan agar imigrasi lebih terkontrol), Brexit+++ di AS -- alias terpilihnya Trump sebagai presiden (ada yang ingat Twitter salah satu anak Trump yang bilang "Tahukah Anda kalau permen yang enak dapat membunuh ?"  sebagai ejekan ke sikap elitis diplomat AS yang cenderung sejalan dengan Merkel) hingga meningkatnya popularitas partai AfD -- Alternatif untuk Jerman yang menentang posisi Merkel. Harus diingat sikap asertif ini bukanlah Xenophobia, namun sekedar Nasionalisme yang di Indonesia dianggap sebagai sikap positif. Xenophobia memang bisa menungangi sikap ini dengan mudah, seperti juga terjadi di Indonesia saat ini. Secara pribadi perlakuan Xenophobia adalah hal yang biasa bagi saya baik ketika masih tinggal di Indonesia maupun saat ini di Eropa...

Pelajaran bagi Indonesia 

Memahami thesis Huntington akan sangat membantu bagi kita di Indonesia untuk mengapresiasi apa yang sedang terjadi di dunia saat ini. Indonesia dan Barat tidak sama dan mungkin akan selalu terganjal pengalaman masa lalu. Namum berbeda dengan Huntington pengetahuan ini hendaknya dipakai untuk bercermin untuk melihat kesamaan yang ada. Secara tidak langsung, Huntington mengakui sulitnya bagi kita untuk menyingkirkan segala prasangka yang ditumbuhkan oleh budaya/ peradaban sehingga ia meramalkan terjadinya pertarungan antar peradaban. Dalam hal ini akan sangat ideal apabila kita bisa melihat terorisme berkedok agama sebagai musuh bersama. 

Tolstoy pernah memberi pertanyaan : Apakah yang hidup dengan manusia ? Tuhan menghendaki agar manusia hidul dalam harmoni dan kedamaian. Oleh karena ini ia yang hidup dalam dalam Cinta akan hidup dalam Tuhan dan Tuhan dalam dirinya karena Tuhan adalah Cinta .. What men Live by ? Love. He who dwells in love dwells in God, and God in him, for God is love...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun