Suatu ketika sebelum pandemi, tiba-tiba terlintas pikiran seandainya saya dan keluarga tidak boleh ke luar rumah karena suatu alasan, mampukah kami bertahan hidup dengan hanya bertumpu pada hasil bumi yang ada di sekitar rumah?. Â Pertanyaan ini saya bicarakan bersama isteri. Mulailah kami menghitung apa saja yang kami miliki di pekarangan rumah dan di teba. Teba adalah lahan di belakang rumah yang biasa dimanfaatkan untuk bercocok tanam sayur mayur, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.Â
Saya jadi teringat dengan kakek yang sudah lama tiada. Beliaulah yang mengajari bercocok tanam sehingga hobi berkebun masih menjadi favorit saya. Kakek selalu menanam kacang-kacangan, iles-iles, keladi, dan berbagai macam sayur mayur. Teba juga dimanfaatkan sebagai tempat kandang ternak, yang paling umum dipelihara di teba adalah ayam kampung.Â
Masyarakat Bali umumnya membagi ruang tempat tinggalnya menjadi tiga bagian. Ada pekarangan, tentu beserta rumahnya. Ada tempat suci yang disebut sanggah atau merajan. Di belakang rumah itulah teba. Di desa-desa biasanya masyarakat memiliki tanah sawah dan ladang yang umumnya merupakan tanah-tanah ulayat.
Setelah melakukan pendataan ternyata lumayanlah kami memiliki tanaman sebagai bahan makanan. Ada keladi, ketela pohon, iles-iles yang disebut suweg oleh orang di kampung. Pohon dan umbinya mirip porang yang lagi viral sekarang.Â
Semua itu bisa menjadi sumber karbohidrat. Kami juga memiliki sayur mayur seperti daun singkong tentunya, daun gedi, bayam, dan banyak juga pakis liar yang bisa disayur. Pohon cabai juga banyak bahkan ada yang tumbuh liar karena tumbuh sendiri karena limbah dapur pasti ada biji-biji cabainya. Buah-buahan juga ada. Durian, alpukat, manggis, duku, pepaya, sirsak, jambu biji, dan pisang. Namun yang berbuah sepanjang tahun adalah pepaya.Â
Ternyata apa yang pernah saya pikirkan benar-benar terjadi. Pada masa awal pandemi kami benar-benar tidak berani ke luar rumah karena berita-berita tentang wabah covid-19. Hal ini diperparah dengan beredarnya berita-berita hoax seputar Covid-19. Beruntung sekali pada saat seperti itu kami masih punya persediaan beras yang kira-kira cukup untuk beberapa bulan. Pada saat seperti itu teringatlah saya dengan lumbung yang pernah ada di bagian tenggara pekarangan rumah. Lumbung tempat menyimpan padi.Â
Di tempat kami lumbung itu disebut glebeg atau jineng. Orang tua kami selalu menyimpan padi yang bagus kualitasnya di lumbung. Saat ini sudah banyak orang yang tidak memiliki lumbung termasuk saya. Ada juga yang membuatnya untuk tempat bersantai seperti gazebo. Mungkin saja ada beberapa alasan mengapa orang tidak mempertahankan keberadaan lumbung padi.Â
Orang tidak lagi menyimpan padi. Beras sangat mudah di beli di warung. Orang yang punya sawah juga langsung memproses padinya jadi beras terus menjualnya. Disisakan secukupnya untuk dikonsumsi. Lumbung tidak diperlukan lagi terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki sawah lagi.
Di masa lalu teba dan lumbung memiliki fungsi yang amat vital. Leluhur di masa lalu ternyata sudah memiliki cara untuk bertahan hidup di masa-masa sulit seperti ketika ada bencana alam dan wabah penyakit sehingga tidak memungkinkan untuk ke luar rumah. Di Bali kejadian meletusnya Gunung Agung merupakan kenangan pahit masa-masa sulit. Jauh sebelumnya ternyata leluhur kita sudah mengalami banyak cobaan berupa bencana alam dan wabah penyakit.Â
Dalam sebuah webinar, ahli-ahli naskah kuno memaparkan hal tersebut. Khusus untuk wabah penyakit, ada disebutkan dengan nama sasab, grubug, dan gering agung.Â
Salah satunya mungkin saja pandemi dengan disebutkannya ciri-ciri orang yang terkena atau terpapar wabah, dan keterangan banyaknya korban meninggal. Sangat luar biasa leluhur kita mampu bertahan pada saat itu sehingga generasi selanjutnya, yaitu kita ini masih ada. Mereka masih menyisakan kearifan lokal bagaimana mereka mampu bertahan hidup di masa-masa sulit dalam kemandiriannya.Â