Oleh: Igor Dirgantara
5 Indikasi:
1. Survey menunjukkan bahwa meskipun tetap di ranking atas, elektabilitas Presiden sebagai petahana < 50 %. Dengan kata lain, elektabilitas Jokowi masih di bawah perolehan suaranya di Pilpres 2014 (pertanda pemilih memberikan kesempatan kepada figur lain maju berkompetisi di Pilpres 2019).
2. Sebagian pemilih jenuh dengan aktor lama yang berkompetisi di Pilpres 2014 lalu, terutama dari segmen pemilih baru (milenial). Tendensi Swing voter, floating mass akan membesar. Pemimpin alternatif (baru) mulai mendapat ruang harapan dan simpati publik untuk berkontestasi dalam kepemimpinan nasional. Namun jika aktor lama masih tetap bertarung, maka sosok pendamping presiden (cawapres) lah yang akan menjadi primadona di Pilpres 2019 (militer/sipil)
3. Adanya figur militer (non-sipil) yang masih atau mulai disukai publik sebagai Capres atau Cawapres: Prabowo Subianto, SBY, Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, Moeldoko, bahkan AHY yang tergolong muda. Perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 bisa dilihat sebagai awal adanya re-evaluasi awal pemilih terhadap pemerintah.
4. Sekarang masyarakat sudah bisa menilai, membandingkan, dan merasakan kinerja kepemimpinan Jokowi. Munculnya polemik isu-isu penting yang menggelinding, seperti isu kebangkitan PKI, perppu ormas, presidential thrashold, penegakan ham, pemberantasan korupsi, menurunnya daya beli masyarakat (ekonomi) dll, mewarnai diskursus dan embrio matra konflik horizontal. Ada problem keselarasan antara janji dan realitas.
5. Fakta bahwa PDIP memimpin hanya satu periode (Megawati Soekarno Putri 1999-2004), dan kemudian dikalahkan figur dari militer (SBY yang saat itu adalah Menkopolkam). Nobar film G30S PKI Presiden bersama Panglima TNI di Markas Suryakancana Bogor beberapa waktu lalu bisa dilihat sebagai simbol komunikasi politik kepemimpinan Sipil-Militer, atau juga sebaliknya. Oleh karena itu, hanya (jika) duet Jokowi-Prabowo Subianto yang paling superior dan tidak mungkin bisa kalahkan - wacana Pilpres 2019 akan layu sebelum berkembang karena potensi menang berada di level 90%. Mustahil? Jika iya: "Welcome back to the Indonesia Presidential Election 2019." Sebuah persaingan  seru kembali berulang, dimana politik adalah seni/cara mendapat suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan berjanji untuk melindungi antara satu dari yang lainnya, kata penulis & aktivis sosialis Jerman Oscar Ameringer.
Igor Dirgantara, Director SPIN (Survey & Polling Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H