Merdeka!
Dharma Eva Hato Hanti - Kuat karena Bersatu, Bersatu karena Kuat
Menurut konstitusi UUD 1945 hasil amandemen bahwa jabatan presiden dibatasi hanya 2 (dua) periode saja (10 tahun). Sadar akan jabatan presiden dibatasi (kekuasaan itu tidak tak terbatas) maka Jokowi tidak menyia-nyiakannya untuk melakukan reformasi (bahkan revolusi) disemua sektor termasuk pajak, agraria, membangun sistem yang lebih transparan, penggunaan APBN yang Indonesia sentris (prioritas luar Jawa, membangun Indonesia dari pinggiran) serta infrastruktur waduk, bendungan, jalan, jalan tol, jalan rel, bandara dan pelabuhan sebagai urat nadinya pertumbuhan ekonomi.
Ketersediaan infrastruktur yang memadai (termasuk tol laut) diharapkan dapat mengurangi disparitas harga seperti yang terealisasi saat ini diantaranya harga BBM sama untuk seluruh wilayah Indonesia, tumbuhnya pusat2 ekonomi baru yang diharapkan mendorong pemerataan ekonomi.
Jokowi tidak berorientasi kekuasaan belaka. Apakah Jokowi terpilih kembali untuk masa jabatan kedua (2019 -2024) atau tidak itu adalah tanggungjawab kita.
Tanggung jawab beliau adalah memastikan masa jabatannya diisi dengan banyak kerja, kerja dan kerja.
Melihat konstelasi politik dan eskalasinya memuncak saat pilkada Jakarta yang telah berdampak hukum dengan dijatuhkannya vonis 2 tahun penjara kepada Ahok tentu kita bisa rasakan bagaimana sesak dada simpatisan dan para penggiat pejuang keadilan.
Bukan hanya di Jakarta, meluas hingga ke daerah bahkan solidaritas diluar negeri yang meneriakkan keadilan untuk Ahok (Justice for Ahok).
Seandainya kita memposisikan diri sebagai Jokowi melihat sahabatnya yang didakwa menista agama.
Vonis tersebut nampak mengabaikan mayoritas keterangan para saksi, saksi ahli dan tuntutan jaksa 1 tahun dan 2 tahun percobaan (tidak di penjara). Kesedihan luar biasa pasti dirasakan seorang sahabat karena ini bukan kasus kejahatan korupsi tetapi lebih kepada konspirasi politik tingkat tinggi yang dibalut sentimen agama dan ras.
Disinilah kita melihat sifat ksatria seorang Jokowi ditunjukkan yang tak mau mengintervensi hukum. Jokowi sadar bahwa kekuasaan kehakiman bersifat merdeka.
Oleh karena itu harapan kita sebagai rakyat Indonesia yang mencintai keadilan harus terus berjuang.
Pertandingan boleh usai, tapi perjuangan tidak akan pernah selesai.
Mari kita jadikan momentum penegakan hukum ini menjadi titik tolak untuk menjadikan Indonesia sebagai negara hukum dan hukum sebagai panglima (supremasi hukum).
Kita dorong pemerintah melaui instrumen penegak hukum seperti Polri untuk menindak tanpa pandang bulu tindakan-tindakan kriminal, kejahatan korupsi, prilaku intoleran berbungkus SARA yang mengancam integrasi bangsa yang majemuk.
Dalam wilayah gerakan politik ekstra parlemen, menurut saya tidak ada persoalan jika ada yang menciptakan gerakan-gerakan sporadis sepanjang bermuara pada tujuan yang sama yakni selamatkan NKRI dari anasir-anasir dan para komprador (antek asing) yang memecah persatuan dan kesatuan dengan simbol-simbol SARA. Mengapa SARA, karena isu ini yang paling gampang menyulut pertentangan dan perang saudara di berbagai negara (Irak, Syria, Mesir, Libya, Turki, negara bekas Yugoslavia) padahal sejatinya yang diperebutkan elit politik adalah kekuasaan dan ekonomi. Demokrasi menjadi ternoda dengan menghalalkan segala cara.
Sepertinya sekelompok anak bangsa tidak siap dengan perubahan dengan lahirnya pemimpin-pemimpin muda yang progresif seperti Jokowi dan Ahok.
Kemunculan sosok Jokowi dan Ahok telah disambut antusias dan menjadi inspirasi bagi banyak kalangan tanpa terkecuali para aktifis yang bermodal idealisme. Jokowi dan Ahok telah mengubah persepsi masyarakat bahwa menjadi pemimpin tidak harus kaya, tidak harus dari oligarki kekuasaan, tidak harus dari keluarga pahlawan, dst tapi pemimpin harus memiliki integritas, jujur, jika dipercaya harus memimpin dengan konstitusi, berlaku adil dan melindungi hajat hidup orang banyak.
Dan apa yang telah dilakukan dan ditauladani oleh seorang Jokowi sebagai presiden dan Ahok sebagai gubernur telah mendatangkan kesialan bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia yang terbiasa melakukan praktek KKN, suap-menyuap, pelanggar hukum, penyelundup (termasuk black market), pengemplang pajak, pengedar narkoba, pelaku money laundrey, penggarong APBN, yang biasa mark up anggaran, pelanggar perijinan. Mereka merasa kehidupan ekonominya terancam jika Indonesia tranparan dan maju.