Beberap hari ini penulis dikagetkan dengan pemberitaan yang santer di media sosial, mempertontonkan pemukulan terhadap balita, pelakunya seorang yang harusnya menjadi pelindung. Perbuatan yang keji dan tidak memiliki rasa perikemanusiaan. Perbuatan keji yang dipicu hal yang sangat sepele. Pasti ada sebab tertentu mengapa perkara sepele mengakibatkan perlakuan kasar dan brutal.
Penulis  mencoba melihat apa yang melatarbelakangi  emosi marah mudah  tersulut dan apa akibat yang dialami bagi korban.
Kekacauan mental
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), stres adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan adanya tekanan dari luar. Stres dapat menjadi dasar seseorang melakukan tindakan brutal. Biasanya pemicunya dari hal sepele namun dirasa begitu luar biasa (berat) seakan menyinggung harga diri. Tekanan yang terus menghimpit mengakibatkan tiadanya jalan keluar. Jika tekanan ini terus-menerus dirasakan maka kecenderungan mencari pelampiasan agar perasaan tertekan itu dapat penyaluran. Untuk sementara jika sudah terlampiaskan ada perasaan lega yang pada akhirnya penyesalan. Mekanisme kontrol emosi diri menjadi tidak terkendali dan tidak mampu lagi berpikir jernih. Berpikir akibat dari perilaku yang dilakukan.
PelampiasanÂ
Tidak aneh (bukan berarti wajar) jika pelampiasan itu dilakukan pada anak (balita). Kecenderungan pelampiasan dilakukan kepada mereka yang lemah dan tak berdaya. Dianggap tidak mampu melawan. Pelaku kekerasan ingin menampilkan otoritas kekuasan dan menakut-nakuti dengan perlakuan kasarnya. Sikap melampiaskan ini muncul karena tidak ada jalan lain. Seakan semua jalan menjadi buntu. Kesadaran diri dan sosial menjadi buta karena emosi marah sudah menguasai seluruh pikiran dan perasaan.
Apakah bisa dimungkinan adanya perkembangan emosi yang tidak maksimal pada usia 6 hingga 9 tahun? Bisa dimungkinkan hal itu terjadi. Â Karena perkembangan emosi pada usia ini berdampak sampai usia dewasa. Namun, ini perlu kajian lebih dalam lagi. Akan nampak pada akhirnya nanti adalah rasa penyesalan dari pelaku karena sudah melakuakan tindakan brutal. Namun nasi sudah basi dan tak layak dikonsumsi. Hukum telah menjerat pelaku dengan undang-undang perlindungan anak dengan ancaman hukuman kurungan yang cukup berat.
 TraumaÂ
Tindakan kekerasan  berdampak buruk bagi korban. Bukan hanya luka fisik namun ada bekas yang lama sembuh bahkan tipis kemungkinan untuk pulih adalah luka secara psikis. Trauma dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal akibat tekanan jiwa atau cidera jasmani. Dampak kekerasan bisa mengakibatkan trauma dan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Bagi korban, apa yang terjadi pada saat dewasa nanti setelah mendapatkan perlakuan tersebut ?. Tentu hal ini bergantung penanganan pasca terjadinya kekerasan. Dampak yang paling buruk bisa membuat korban menjadi pribadi yang minder atau bahkan sebaliknya, temperamen. Maka, hendaknya memori  yang berbentuk rekaman digital yang sudah tersebar di media sosial bisa dihapus. Karena bisa berdampak buruk bagi koraban nantinya.
Proses penyembuhan (pemulihan secara psikis) pasca terjadinya kekeraan ini bisa memakan waktu yang cukup lama. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi untuk selajutnya. Lingkungan yang nyaman, melindungi dan membimbing menuju pada kebaikan sangat dibutuhkan.