Sejak tahun 2001 bangsa Indonesia mulai menghadapi era baru yaitu desentralisasi, ketika Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004, dimulai dari proses perumusan, implementasi hingga evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dengan menjalankan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan mampu mengelola sumber daya yang tersedia secara efektif dan efisien, mengatasi permasalahan publik seperti eksternalitas negatif yang timbul dari operasi pasar, mendiagnosa dan mengatasi kegagalan pasar, dalam hal ini dalam penyediaan barang publik. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh mekanisme pasar.Â
Sampai dengan tahun 2008, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia berkembang ke arah yang cukup konstruktif, meskipun masih terdapat berbagai kendala seperti ketegangan keuangan antara daerah dan pusat melalui penetapan pembagian keuntungan, penetapan pajak. dan jenis retribusi. Secara makro, masyarakat dapat mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan pada masa Orde Baru, ketika pengelolaan pembangunan masih sangat bergantung pada politik negara. Saat ini, desentralisasi memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, demokratisasi membuat masyarakat bebas memilih pemimpin daerahnya sesuai dengan keinginannya. Hal ini membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat untuk menuntut agar pemerintah dan aparaturnya bertindak sesuai dengan tuntutan masyarakat.Â
Barang publik adalah barang yang tidak dapat dibatasi oleh penggunanya dan jika memungkinkan tidak ada yang harus membayar untuk mendapatkannya. Barang publik adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu, tidak  mengurangi konsumsi barang orang lain. Barang publik adalah barang yang tersedia untuk semua dan bersifat non eksklusif. Dijelaskan bahwa barang publik dibayar atau disediakan oleh pendapatan dari pajak pemerintah dan pinjaman. Selain itu, harga dapat dinyatakan sebagai tingkatan pajak (taxation) yang diperlukan untuk membiayai produksi barang-barang tersebut. Pada saat yang sama, barang pribadi dibayar dengan sistem harga yang berlaku di pasar.Â
Dari perspektif makro, dapat dikatakan bahwa barang publik adalah barang atau jasa yang tersedia untuk semua orang. Sedangkan eksternalitas atau disebut sebagai spill over effects terjadi ketika tindakan satu orang berdampak pada orang lain, dan biaya serta manfaat yang ditimbulkannya tidak tercermin dalam harga pasar (Ulbrich: 2003). Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah biaya atau pendapatan yang tetap menjadi milik pihak ketiga, yaitu pihak non-komersial. Biaya yang dibayarkan oleh pihak ketiga  tidak dapat diklaim oleh pembuat effects atau pihak ketiga dan tidak dapat dibebankan terhadap keuntungan mereka atau keuntungan yang mereka terima dari spill over effects tersebut.Â
Di era desentralisasi, permintaan akan produksi barang publik yang lebih berkualitas di tingkat pemerintah daerah semakin meningkat. Pada dasarnya, melalui desentralisasi, penyediaan barang publik dapat mengikuti rencana tertentu dengan menggunakan informasi yang rinci dan terkini yang hanya tersedia secara lokal. Oleh karena itu, idealnya barang publik yang disediakan oleh pemerintah daerah harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun dalam praktiknya, hal ini belum terealisasi karena sering terjadi inkonsistensi dalam kebijakan pembelian barang publik di tingkat kota yang dianggap bertentangan dengan kebijakan negara. Di era desentralisasi, permasalahan lain yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan daerah juga terbuka. Seperti yang kita ketahui bersama, aset teritorial adalah semua kekayaan yang perolehannya menggunakan anggaran negara (oleh karena itu layak disebut barang publik), namun pemanfaatannya dapat sepenuhnya digunakan oleh publik tanpa harus bersaing (non-rivalry) dan ada pengecualian (non-excludability) tetapi juga barang-barang tertentu memiliki status atau tugas pokoknya sendiri dan - hanya diperbolehkan menggunakan kawasan tertentu karena pemenuhan fungsinya. Karena pengadaan barang tersebut menggunakan anggaran publik yang meliputi pajak dan pinjaman, digunakan untuk mendapatkan barang-barang ini, dana publik memiliki sistem nilai tukar standar tetap, meskipun dana ini berfungsi sebagai layanan dan tersedia untuk entitas yang berbeda.Â
Masalah pertama adalah pemeliharaan aset daerah. Asumsi ini menjadi semakin benar ketika penggunaan barang-barang teritorial dipandang sebagai komoditas belaka atau, lebih kronis lagi, sebagai kurangnya rasa kepemilikan teritorial, di mana penggunaannya cenderung tidak disengaja. Hal ini karena pemikiran bahwa suatu saat mereka (pejabat pemerintah) akan meninggalkan jabatannya, sehingga kewajiban moral untuk melindungi dan melestarikan harta benda tersebut tidak diperlukan.Â
Namun dari sisi pembelian, nampaknya aset  seringkali ditawarkan tanpa perencanaan yang jelas, karena pertumbuhan dan penyusutan aset daerah tidak diperhitungkan dengan cermat, yang kemudian menimbulkan masalah yang kompleks  dan semakin membebani anggaran provinsi. Masalah lain yang perlu dipecahkan adalah sistem informasi aset, artinya di luar pemeliharaan, perlu dilakukan pemantauan aset dengan sistem update untuk mencatat secara akurat  perkembangan nilai aset dan penggunaannya, misalnya penggunaan waktu analisis serial untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan uang. Selain itu, sistem pemantauan dapat didekati dari paradigma pemantauan penggunaan aset, yaitu. apabila terdapat kegiatan yang  dapat menimbulkan kerugian berupa ketidakkonsistenan penggunaan aset, maka harus dikembalikan ke jalur semula. Untuk mengimplementasikan solusi atas permasalahan tersebut, perlu dibangun kewajiban moral dimana pengelola aset bertindak secara independen dan tidak malas untuk memperbarui informasi tentang aset.Â
Isu lain yang harus dibahas dalam rangka mewujudkan otonomi daerah adalah upaya pemerintah dalam mengelola dampak buruk eksternalitas. Dampak buruk dari eksternalitas yaitu akibat aktivitas pasar yang sering terjadi di masyarakat adalah pembuangan limbah industri yang mencemari lingkungan. Dulu masalah ini ditangani oleh pemerintah pusat, namun dengan penerapan kebijakan desentralisasi, provinsi memperoleh kewenangan untuk memantau dan mengendalikan kegiatan pengelolaan sampah. Salah satu persoalan yang dapat diamati dari pendelegasian kewenangan tersebut adalah bagaimana perangkat pemerintah daerah kemudian meningkatkan kapasitasnya agar proses pengendalian dan pemantauan pencemaran lingkungan melalui pembuangan limbah industri dapat berjalan efektif dan efisien. Sebab proses pendelegasian kewenangan seperti itu seringkali tidak diikuti dengan komunikasi di mana kerugian eksternalitas tidak ditangani dengan baik, sehingga merugikan masyarakat.Â
Kasus seperti ini dapat diamati di wilayah Kabupaten Bandung, penurunan kualitas air dan kondisi tanah di Sungai Citarum selama ini menunjukkan kecenderungan yang semakin memprihatinkan. Pemerintah Kabupaten Bandung dan pemerintah Jawa Barat sedang berjuang untuk menghidupkan kembali Daerah Aliran Sungai Citarum. Salah satu program yang dilaksanakan dan berkelanjutan adalah penghijauan barang publik dan kegiatan eksternal di era otonomi daerah - Kristian Widya Wicaksono | 285 dan Keputusan Gubernur No. 915.2/KEP.40-DAL-PROG/2002 tentang Citarum Shaking, namun hasilnya masih belum optimal karena penerapan teknologi untuk pengendalian dan pemantauan limbah industri masih lemah, sehingga pencemaran air masih tinggi. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Belum lagi, ketika musim hujan tiba dan air sungai meluap, berbagai penyakit mulai menyerang masyarakat karena luapan air Citarum membanjiri pemukiman penduduk. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H