Pada zaman sekarang, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang kearifan lokal, tetapi tidak sedikit pula yang mengetahui apa itu kearifan lokal. Istilah kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu, "kearifan" yang mengandung makna bijaksana, dan "lokal" yang  merujuk pada sesuatu yang terkait dengan suatu tempat tertentu. Dengan demikian, kearifan lokal merupakan pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah tertentu yang diperoleh melalui pengalaman aktivitas masyarakat tersebut, di mana terdapat kebijaksanaan yang mendalam dan luhur. Artinya, kearifan lokal dapat diperoleh dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka yang belum tentu dialami oleh masyarakat lain dan sudah ada di suatu wilayah sejak lama serta dilanjutkan dari generasi ke generasi.
Mengingat kearifan lokal adalah pemikiran yang sudah lama dan berusia puluhan tahun, maka dari itu kearifan lokal yang ada pada suatu daerah menjadi begitu melekat dan sulit dipisahkan dari masyarakat yang hidup di wilayah tertentu. Sayangnya, meski banyak orang tua yang berusaha mewariskan kearifan lokal yang telah di dapatkan dari nenek moyang, tapi banyak anak muda justru menganggap kearifan lokal yang sudah turun temurun tersebut adalah pandangan dan pemikiran kuno yang sudah tidak relevan dengan zaman modern saat ini. Padahal segala sesuatu yang masih tradisional tidak selamanya buruk dan tidak selamanya juga pandangan yang salah. Bahkan bisa berlaku sebaliknya, karena kearifan lokal yang dipertahankan dapat membuat suatu masyarakat menjadi begitu unik dan berbeda dari masyarakat yang tinggal di wilayah lain. Kearifan lokal tidak hanya terbatas pada aspek budaya seperti seni tari, seni rupa, dan warisan sejarah saja. Ruang lingkup kearifan lokal juga melibatkan nilai-nilai yang lebih luas, seperti kepedulian terhadap alam dan sesama manusia.
Ada berbagai macam kearifan lokal di setiap daerah salah satu contohnya yaitu Larung Sesaji. Larung Sesaji merupakan tradisi wujud syukur atas nikmat Tuhan berupa rezeki, keselamatan, kesejahteraan, serta hasil alam yang melimpah baik hasil bumi maupun hasil laut. Tradisi ini tidak hanya digunakan untuk wujud rasa syukur saja tetapi juga untuk harapan agar wilayah tersebut tetap terlestarikan dan warganya mendapatkan kemakmuran sekaligus hidup sejahtera tanpa rintangan dikemudian hari. Larung Sesaji berasal dari kata "larung" yang artinya menenggelamkan atau menghanyutkan berbagai macam sesaji seperti tumpeng dan lain-lain ke dalam telaga, laut ataupun pantai selatan. Larung Sesaji dimaknai pula sebagai tindakan religi dengan paham animisme dan dinamisme di mana mitos dan magic lekat dalam budaya Jawa.
Tidak semua daerah mengadakan Larung Sesaji, tradisi ini hanya ada di daerah-daerah tertentu saja terutama di daerah pulau Jawa yang berdekatan dengan pantai seperti Blitar, Magetan, dan Probolinggo. Namun setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, ciri khas tersebut yang menjadikan Larung Sesaji di setiap daerah memiliki keistimewaan dan makna tersendiri, seperti di daerah Magetan. Tradisi ini hanya dilaksanakan setiap satu tahun sekali dengan perhitungan kalender Jawa yaitu setiap hari Jumat Pon di bulan Ruwah atau menjelang datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi Larung Sesaji  diselenggarakan di Telaga Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan dengan berbagai rangkaian kegiatan serta fakta menarik tentang asal mula terbentuknya Telaga Sarangan.
Pada dasarnya masyarakat tidak mengetahui asal mula adanya tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan, masyarakat hanya mengetahui bahwa tradisi ini merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan nenek moyang dan harus dilestarikan. Jika ditinjau dari legenda yang ada, tradisi Larung Sesaji ini berkaitan dengan mitos asal mula terbentuknya Telaga Sarangan. Di mana legenda ini menceritakan tentang sepasang suami istri bernama Kyai dan Nyai Pasir yang berubah menjadi naga hingga menyebabkan terbentuknya Telaga Sarangan. Masyarakat setempat meyakini bahwa pulau yang ada di tengah telaga tersebut merupakan tempat tinggal Kyai dan Nyai Pasir yang meminta tumbal setiap tahunnya. Sehingga, masyarakat setempat beranggapan apabila tidak diberi sesaji maka penunggu yang ada di pulau tersebut akan marah dan membuat bencana.
Prosesi Larung Sesaji diawali dengan kirab tumpeng Gana Bahu (tumpeng raksasa) yang terbuat dari nasi setinggi 2,5 meter dan biasanya menghabiskan beras sebanyak 50 kg. Arak-arakan tumpeng di mulai dari Kelurahan Sarangan kurang lebih 500 meter menuju panggung di pinggiran Telaga Sarangan dan dibawa dengan cara dipikul oleh 4 orang. Tradisi ini dipusatkan di punden desa, tepatnya di sebelah timur telaga. Di tempat ini para pejabat Kabupaten Magetan, para perangkat desa, sesepuh dan tokoh masyarakat serta para warga menyerahkan sesajinya. Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka sesepuh desa membakar kemenyan serta membaca doa. Selesai penyerahan sesaji dan pembacaan doa bersama, akan dilakukan pertunjukan tari gambyong (tari tradisional dari Surakarta). Setalah semua prosesi selesai dilakukan, sesaji tersebut di naikkan ke atas kapal boat untuk diarak mengelilingi Telaga Sarangan. Setalah sampai di tengah telaga maka tumpeng Gana Bahu dan tumpeng lainnya yang berisi sayuran, buah-buahan, dan hasil bumi dilarungkan atau di tenggelamkan. Dengan dilarungnya sesaji tersebut, maka selesai sudah tradisi Larung Sesaji tersebut. Dengan selesainya kegiatan tradisi ini, masyarakat sekitar berharap akan diberikan dampak positif seperti kemakmuran, kesejahteraan, dan dijauhkan dari segala musibah serta mara bahaya.
Oleh karena itu, kearifan lokal berupa Larung Sesaji ini perlu dipertahankan sebagai identitas nasional yang harus dilestarikan untuk memelihara keanekaragaman budaya, melestarikan sejarah identitas daerah, meningkatkan solidaritas sesama masyarakat, serta mampu mendorong pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar  dengan adanya tradisi Larung Sesaji. Selain itu, kebudayaan Larung Sesaji harus diperkenalkan kepada generasi milenial untuk menjaga keseimbangan antara globalisasi dan lokalisme sehingga adanya budaya global yang terus berkembang tidak dapat menghilangkan identitas budaya. Di mana hal ini dapat membuktikan bahwa keberadaan Telaga Sarangan dengan mitos yang legendaris serta kebudayaan masyarakat sekitar masih menjadi tradisi yang melekat hingga masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H