Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Santri Nasional: Menyantrikan Indonesia?

23 Oktober 2016   17:14 Diperbarui: 23 Oktober 2016   17:28 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada awalnya, saya kurang setuju dengan diadakannya hari santri, apalagi penetapan hari santri tersebut berlandaskan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asyari. Seakan-akan hari santri hanya khusus untuk golongan tertentu (NU) dan bukan untuk semua golongan. Saya sendiri, sebagai santri, tidak pernah merasa menjadi bagian NU ataupun Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya.

Selain itu, Hari Santri pada awal ditetapkannya, tahun lalu, terlihat sebagai gerakan politik Presiden Joko Widodo untuk menarik hati kaum santri yang akhir-akhir ini memang bertambah banyak.

Baiklah, sampai sini mungkin banyak yang tidak sependapat dengan saya.

Dan di titik ini pun saya sadar, ketidaksetujuan saya terhadap hari santri berdasarkan pada ketidak-berafiliasian saya kepada NU dan ‘Ainu-s-sukhti (pandangan buruk) saya terhadap Bapak Presiden. Jadi, sampai titik ini, saya akan mencoba memaknai hari santri secara lebih mendalam.

Bagi orang awam, santri adalah mereka yang pernah merasakan pendidikan di pesantren, apa pun pesantrennya. Maka, kita sering mendengar santri salaf, santri tahfidz, santri ini-itu dan lain-lain. Jadi, orang yang tidak pernah mencicipi bangku pesantren bukanlah santri dan tidak ‘elok’ rasanya apabila memperingati hari santri.

Tidak banyak orang yang melihat santri kepada esensinya, sehingga hari santri hanya diperingati sebagai bukti bahwa santri adalah bagian dari perjuangan rakyat Indonesia, merujuk pada Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945.

Esensi Santri

Esensi santri yang saya maksud di sini adalah jiwa-jiwa santri yang harus ada ketika seorang sudah nawaitu nyantri lillahi ta’ala. Jiwa tersebut terdiri dari jiwa keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan) dan kemandirian.

Sekarang mari kita lihat kenyataannya di bangsa kita.

Headline berita pungutan liar (pungli) masih merajai media cetak dan elektronik. Kasus korupsi masih menjadi-jadi. Kemana keikhlasan dalam mengabdi kepada negeri?

Setiap orang berlomba untuk tampil lebih mewah. Harga gengsi semakin mahal. Restoran dan cafe mahal tidak pernah sepi. Kemana kesederhanaan dalam hidup?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun