Stigma yang terbentuk dari berbagai pernyataan politikus seperti di atas membuat golput yang berusaha memperjuangkan hak politiknya dipandang buruk oleh masyarakat luas. Seorang aktivis HAM yang terang-terangan menyatakan golput di Aksi Kamisan bahkan menerima perundungan daring (online bullying) dari warganet setelah twitnya viral di Twitter.
Golput Sebagai Bentuk Kepedulian
Cap apatis yang diberikan kepada golput memberikan kesan golput adalah orang yang tidak peduli dengan nasib bangsa. Padahal, jika dipelajari lebih lanjut, aktivis golput merupakan aktivis yang giat mengadvokasi warga untuk keperluan hidup mereka.
Tujuan dari golput adalah untuk membuka mata, telinga, dan hati para pemangku jabatan bahwa suara golput tidak terwakilkan. Selain itu, golput juga merupakan bentuk ketidakpuasan dari sistem yang ada sekarang.
Tujuan yang sebenarnya sangat sederhana tersebut sering dinyinyiri oleh kelompok anti-golput. Mereka sering menyindir golput yang ogah masuk sistem untuk mengubah kebijakan yang mereka perjuangkan. Ada juga yang melarang golput untuk melakukan protes terhadap kebijakan pejabat terpilih karena tidak ikut menyumbangkan suaranya.
Sebenarnya, dua sindiran tersebut dapat dijawab dengan satu pertanyaan: Siapa yang memegang mandat tertinggi dalam pemerintahan demokrasi Indonesia?
Jawabannya tentu rakyat. Pemberian mandat dari rakyat kepada orang-orang yang dianggap mampu dilakukan lima tahun sekali melalui Pemilu. Di luar Pemilu, rakyat harus proaktif untuk mengawal dan mengawasi kebijakan yang dilakukan oleh wakil rakyat. Bentuk pengawalan dan pengawasan tersebut bisa berupa advokasi kepada warga yang terdampak kebijakan yang merugikan mereka sampai demonstrasi menuntut kebijakan yang menguntungkan rakyat banyak.
Jadi, untuk mengubah sistem yang ada, aktivis golput tidak perlu lagi masuk ke sistem, karena mereka sendiri merupakan puncak tertinggi dari sistem tersebut (rakyat). Pandangan yang menyatakan bahwa untuk mengubah kebijakan harus masuk ke sistem legislatif atau eksekutif merupakan pernyataan yang dibuat oleh elit politik yang tidak ingin kursinya digeser oleh rakyat yang notabenenya adalah atasan mereka.
Kedudukan rakyat yang berada di atas pemangku jabatan legislatif dan eksekutif pulalah yang melegitimasi hak protes rakyat kepada calon terpilih nantinya. Entah seseorang ikut memilih atau tidak, memberikan suara yang sah atau tidak, setiap rakyat memiliki hak untuk mempertanyakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat terpilih.
Akhir kata, saya hanya ingin menekankan bahwa golput merupakan pilihan. Golput merupakan pasangan capres nomor 03, parpol nomor 21, calon legislatif DPD nomor 99 dan lain sebagainya. Selama mereka menginginkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, suara mereka harus didengar. Sikap mereka tidak boleh diintimidasi karena intimidasi merupakan hal yang kontra demokrasi.
Daripada sibuk menghujat sikap golput yang idealis, bukankah lebih baik mengingatkan teman kita yang masih apatis? Mari kita mengingatkan mereka yang melihat negeri kita sedang tidak baik-baik saja, namun malah menyerah dengan sistem politik intrik yang sudah kadung membudaya. Sadarlah bahwa kekuasan tertinggi di negeri demokrasi ada di tangan rakyat, bukan di tangan para politisi yang doyan menggoda konstituen untuk lima tahun mandat.