Aku tidak tahu kapan aku lahir. Yang aku tahu, kaki Merapi adalah tempatku tersadar pertama kali. Bersama berjuta-juta yang lainnya, aku selalu merasa sepi. Bukan. Bukan sepi karena tidak ada teman. Sepi ini adalah sepi tanpa suara. Hening. Semuanya bisu.
Aku tidak tahu kapan aku akan meninggalkan tempat ini. Yang aku tahu, Merapi sudah menentukan kapan akan menendang salah satu dari kami keluar dari peristirahatan nyaman di kakinya. Merapi menendang tanpa bersuara. Alam membantu Merapi menendang kami ke segala penjuru.
***
Dalam kebingungan yang tidak bisa aku ungkapkan, Aku sudah berada di sini, di bantaran Progo. Aku lihat kawanku, lebih sedikit daripada kawanku di kaki Merapi. Aku sedikit melihat sekeliling untuk mencari yang lain sehingga sadar bahwa Merapi sudah lebih kecil dari biasanya.
Apakah Merapi menyusut? Atau aku yang membesar?
Di pinggir Progo, aku melihat lebih banyak hal. Pohon lebat yang selalu menemani siang malam jumlahnya berkurang. Rumah-rumah manusia yang biasa kulihat kecil, disini lebih besar, bahkan sangat besar. Manusia yang lewat pun lebih banyak.
Setelah aku lihat sekeliling, aku berusaha mengingat bagaimana aku bisa sampai disini.
Hmm, bagaimana pun juga, aku tidak akan ingat. Merapi sudah menentukan takdirku untuk berada di sini, di pinggir Progo, bersama yang lainnya.
***
Sore itu, seorang anak berjalan menyusuri bantaran Progo bersama teman-temannya. Matahari mulai tergelincir ke barat, menyisakan detik-detik terakhir hari untuk dinikmati. Anak-anak mengambil batu untuk dilempar ke tengah kali, berlomba melempar sejauh mungkin. Tawa mereka menjadi pelengkap sempurna hari ini.
***