"Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dan dia banyak meingingat Allah"(QS Al Ahzab: 21).
Saat membaca ayat ini, jujur, awalnya saya merasa biasa-biasa saja. Mungkin karena kurang paham. Namun ketika ayat ke 21 dari Al Azhab ini dibaca berulang kali, saya seakan menemukan sesuatu yang musti disampaikan. Saya seakan baru tersadar bahwa diri ini sesungguhnya bukanlah manusia yang tak berdosa. Diri ini, jika diandaikan dengan makanan, maka diri ini adalah makanan-makanan sisa yang sewaktu-waktu akan dibuang ke tong sampah dan membusuk dengan sendirinya. Bau adalah perwujudan diri sewaktu-waktu.
Dari ayat di atas saya tersadar bahwa sesungguhnya hidup ini perlu seorang panutan agar menjadi terarah, tidak tersesat kepada hal-hal yang dilarang oleh Agama. Karena agama saya adalah Islam dan Al-Quran serta Hadist menjadi panduan hidup maka pada asasnya tidak cukup jika saya hanya mempelajarinya saja. Tidak cukup. Mempelajari Al-Quran dan Hadist mudah sekali, hanya bermodal pemahaman nahwu dan  shorrofserta ilmu-ilmu alat lainnya (istilah ilmu yang saling berhubung untuk memahami teks arab) kita sudah dapat memahami isi Al-quran dan Hadist. Namun hal mempelajari diatas dirasa kurang pas jika kita sama sekali tidak melirik sifat-sifat sang pembawa Risalah, yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai panutan atau suri teladan dalam kehidupan ini.
Apa-apa yang menjadi sifat Rosulullah dan segala hal yang berkaitan dengan dirinya adalah suatu manifestasi dari wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada ummat manusia, dan semua itu menjadi suri tauladan yang baik bagi kita  semua. Hal ini sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran surat An-Najm ayat 4---5 yang artinya sebagai berikut :
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-quran) menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya."(QS An-Najm: 4-5.
Namun, apakah benar suri tauladan baik itu akan menjadi penuntun kita menuju surga-Nya? Apakah benar Nabi Muhammad itu teladan baik bagi kita? Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan di atas sesungguhnya sangat mudah sekali jika kita memahami bahwa suri teladan yang baik itu hanya diperuntukan bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah SWT dan bagi mereka yang mengharap syafaatnya di hari kiamat kelak serta bagi mereka yang memperbanyak mengingat Allah. Lalu bagaimana bagi mereka yang sama sekali tak punya pengharapan dari teladan baik itu? Maka sesungguhnya dia tidak akan mendapat rahmat Allah dari keteladan Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan selanjutnya adalah, adakah kita menjadi pengharap terhadap suri teladan yang baik itu? Jawabannya akan bervariasi sesuai diri kita masing-masing.
Salah satu sifat Rosulullah yang terkandung dalam kalimat suri teladan di atas adalah sifat shiddiq.Shiddiq berarti benar. Benar dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah. Sedangkan secara penafsiran benarmerupakan suatu sifat yang mulia yang menghiasi diri seseorang yang berakhlak karimah. Shiddiqkadang kala juga disama artikan dengan jujur. Jujur berarti benar, artinya apa-apa yang disampaikan oleh seseorang yang memiliki sifat jujur adalah benar-benar merupakan seseuatu yang musti disampaikan, tidak dikurangi atau ditambahi.
Untuk memiliki sifat jujur sesungguhnya sangat sulit sekali jika tidak dibiasakan sejak kecil, karena yang namanya sifat adalah sesuatu yang tertanam dalam diri manusia yang itu merupakan kebiasaan atau bahkan menjadi tabi'at diri. Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan disebut sebagai akhlak dan akhlak pada asasnya tidak hanya tentang yang baik-baik saja. Namun juga mencakup kebiasan-kebiasaan buruk manusia (yang itu juga dikatakan sebagai akhlak mahmudah). Sebab itu maka Imam Al-Ghazali mengungkapkan secara istilah bahwa akhlak merupakan suatu bentuk (naluri asli) dalam jiwa seorang manusia yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudan dan spontan tampa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Jika jujur telah tertanam dalam diri manusia, artinya sudah menjadi suatu kebiasaan dan menjadi tabi'at  tersendiri maka sungguh berkah hidup seseorang itu. Ya, hidupnya akan menjadi berkah sebab kejujurannya. Jujur akan membawa manusia pada berbagai macam keberuntungan atau berbagai manfaat akan diperoleh ketika jujur dijadikan sebagai tabiat. Sebagai contoh, misalnya dalam hal berbisnis; jujur merupakan faktor utama yang dapat mendongkrak bisnis untuk menjadi lebih sukses. Kenapa tidak? Ketika seorang Bussinesmanberlaku jujur kepada siapapun dilingkungan bisnisnya maka kepercayaan dari orang-orang disekitarnya akan mudah didapati. Manakala kepercayaan sudah didapat  secara pasti bisnis itu berkembang dengan sendirinya. Namun fonomena yang ada sering kali bertolak belakang dengan panduan hidup yang ada. Saat ini banyak pelaku bisnis yang mengabaikan demensi jujur, mereka mempromosikan produk-produk bisnisnya secara berlebihan bahkan berdusta. Entahlah!
Hal berkah dalam berbisnis seperti di atas telah disampaikan oleh Rosulullah SAW dalam Hadistnya sebagai berikut:
Rosulullah SAW bersabda "penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuslah berkah jual beli tersebut".