Sandaran Ekonomi Islam
Ahmad Ifham Sholihin, Pakar Ekonomi Syariah
Sistem ekonomi Islam telah diposisikan oleh penggagas dan penggiatnya sebagai solusi (bukan alternatif) atas gurita krisis yang menggerogoti kejayaan rezim ekonomi global yang dianggap lekat dengan nilai kapitalisme, sosialisme, neoliberalisme, dan/atau nilai-nilai lain yang dianggap melenceng dari ajaran agama Islam.
Sebagaimana agama Islam itu sendiri, implementasi nilai dan ajaran Islam akan terus tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah manusia. Begitu juga dengan tumbuh kembang konsep dan penerapan nilai dan ajaran Islam di bidang ekonomi. Nah, apakah penerapan nilai ekonomi Islam telah berhasil menerjemahkan apa yang dicita-citakan oleh penggagasnya tersebut?
Mari kita cermati satu per satu nilai yang mendasari pembentukan teori ekonomi Islam, prinsip-prinsip sistem ekonomi yang Islami, serta perilaku dalam bisnis dan ekonomi Islam.
Sebagaimana terangkum dalam statemen Alquran, ada beberapa nilai-nilai yang dijadikan landasan seseorang dalam bermuamalah, berperilaku, dan secara khusus dalam berekonomi, yaitu tauhid (keimanan), adil (keadilan), nubuwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (hasil), multitype ownership, freedom to act, social justice, serta akhlak.
Pertama, tauhid (keimanan) yang dalam hal ini bisa dimaknai sebagai pengesaan terhadap Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya tujuan akhir atas hidup dan mati manusia. Jadi, segala urusan manusia terhadap makhluk lain harus didasarkan dalam kerangka hubungan dengan Tuhan. Apa pun yang dilakukan manusia harus bisa dipertanggungjawabkan secara tuntas kepada Tuhan.
Sistem ekonomi yang dilakukan dengan tujuan menegakkan nilai keagungan Tuhan, apa pun itu agamanya, sangat potensial untuk menjadi solusi atas krisis sistem ekonomi di muka bumi ini.
Kedua, keadilan. Bila kapitalisme klasik mendefinisikan adil sebagai ‘anda dapat apa yang anda upayakan’ (you get what you deserved), dan sosialisme klasik mendefinisikannya sebagai ‘sama rata sama rasa’ (no one has a privilege to get more than others), maka Islam mendefinisikan adil sebagai ‘tidak menzalimi tidak pula dizalimi’ (laa tazhlimuuna walaa tuzhlamuun).
Implementasi sistem ekonomi dikatakan Islami jika menjunjung tinggi nilai keadilan oleh siapa pun pelakunya dan bahkan apa pun agamanya. Berekonomi dengan landasan kapitalisme, neoliberalisme, atau sosialisme pun bisa juga dikatakan Islami jika pada kenyataannya tidak merugikan atau mengambil hak orang lain.
Ketiga, sistem ekonomi Islam memiliki prinsip kenabian yang memiliki sifat berekonomi secara sidiq (jujur, benar); amanah (bertanggung jawab, bisa dipercaya, dan kredibel);
fatonah (cerdik, bijaksana dan intelek); dan tablig (komunikasi, transparansi, dan publikasi).
Keempat, khilafah (pemerintahan), dalam arti ekonomi Islam diterapkan dalam sebuah naungan pemerintahan yang memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan kredibilitas untuk mengatur, mengelola, dan mendistribusikan seluruh sumber daya yang menjadi hak publik untuk sebesar-besar kemakmuran bersama. Penguasa ini tak harus merupakan pemerintahan berasaskan Islam.