Mohon tunggu...
Nisa Iffatus Shofia
Nisa Iffatus Shofia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sengketa Tanah: Hukum Adat vs Hukum Agraria

7 Oktober 2024   19:00 Diperbarui: 7 Oktober 2024   19:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sengketa tanah adalah salah satu isu utama di Indonesia, terutama ketika hukum adat dan hukum agraria nasional saling bertentangan. Di negara yang kaya akan budaya dan tradisi ini, perbedaan dalam pengelolaan dan kepemilikan tanah sering kali memicu konflik antara masyarakat adat dan pemerintah, atau dengan individu yang tunduk pada hukum nasional.

Hukum Adat

Hukum adat adalah sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat berdasarkan tradisi dan kebiasaan setempat. Di setiap daerah, hukum adat bisa berbeda, tetapi pada dasarnya tanah dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual masyarakat adat, bukan sekadar aset ekonomi. Salah satu konsep penting dalam hukum adat adalah hak ulayat, yaitu hak kolektif suatu masyarakat adat atas wilayah tertentu. Tanah dalam hak ulayat dimiliki bersama oleh komunitas dan dikelola untuk kepentingan bersama, tidak bersifat individual seperti dalam hukum nasional.

Hukum Agraria Nasional

Hukum agraria nasional diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. UUPA ini bertujuan untuk menyatukan berbagai sistem hukum yang mengatur tanah dan memberikan kepastian hukum melalui sertifikasi tanah. Kepemilikan tanah menurut UUPA bersifat individual, di mana tanah dapat dimiliki, diperjualbelikan, dan diwariskan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) bertanggung jawab atas pendaftaran dan sertifikasi tanah di seluruh Indonesia. Meskipun UUPA mengakui hak-hak adat, pengakuan ini terbatas. Hukum adat hanya diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Oleh karena itu, banyak tanah adat tidak memiliki sertifikat resmi yang diakui oleh hukum agraria nasional.

Konflik Hukum Adat dan Hukum Agraria

Perbedaan mendasar antara hukum adat dan hukum agraria nasional sering kali menimbulkan konflik dalam penyelesaian sengketa tanah. Salah satu sumber utama konflik adalah perbedaan cara pandang terhadap tanah. Dalam hukum adat, tanah dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan komunitas adat, sementara dalam hukum agraria, tanah dilihat sebagai aset ekonomi yang dapat dimiliki, diperjualbelikan, atau diinvestasikan.

  • Hak Ulayat vs. Sertifikasi Tanah. Salah satu konflik utama adalah pengakuan hak ulayat dalam hukum adat yang sering kali tidak diakui oleh hukum nasional. Tanah yang dikuasai secara adat sering kali tidak terdaftar secara formal dalam sistem hukum agraria, sehingga ketika ada tumpang tindih antara hak adat dan tanah bersertifikat, masyarakat adat sering kalah dalam sengketa hukum.
  • Kepemilikan Komunal vs. Kepemilikan Individual, Tanah dalam hukum adat bersifat komunal, sedangkan hukum agraria mengharuskan adanya kepemilikan individual yang jelas. Hal ini mempersulit masyarakat adat untuk mendaftarkan tanah komunal mereka ke BPN. Akibatnya, banyak tanah adat yang tidak memiliki perlindungan hukum formal.
  • Perizinan dan Penguasaan Lahan, Konflik lainnya sering kali muncul ketika pemerintah memberikan hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan untuk mengelola tanah yang secara tradisional dikuasai oleh masyarakat adat. Pemerintah memberikan izin resmi berdasarkan hukum agraria, sementara masyarakat adat merasa bahwa tanah mereka dirampas tanpa pengakuan atas hak adat mereka.

Penyelesaian Sengketa Tanah

Sengketa tanah yang melibatkan hukum adat dan hukum agraria biasanya diselesaikan melalui proses hukum yang panjang dan kompleks. Masyarakat adat sering berada dalam posisi yang lebih lemah karena tidak memiliki sertifikat tanah yang diakui oleh hukum nasional, sementara pihak lain memiliki sertifikat resmi.

Salah satu pendekatan yang diambil adalah melalui mekanisme formal seperti pengadilan, tetapi penyelesaian melalui mediasi dan negosiasi juga sering dilakukan untuk mencapai kesepakatan damai. Pemerintah pusat dan daerah sering kali berperan sebagai mediator dalam sengketa tanah ini.

Upaya reformasi hukum agraria yang lebih inklusif juga dilakukan. Salah satu kemajuan penting adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 yang mengakui bahwa hutan adat tidak lagi dianggap sebagai hutan negara, melainkan milik masyarakat adat. Putusan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap hak-hak tanah masyarakat adat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun