Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanda Mata

25 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 25 Maret 2020   00:37 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Soejinah")

Pada sepandang mata--Burungburung terbang

Angin berhembus dingin

Aku terlelap di atas hamparan mawar biru

Dan perempuan membacakan sebait syair 

 

: Hujan turunlah

Matahari tenggelamlah

Biarkan kami menari

 

Pada sepandang mata--Cahaya kunang kecil menyala

Malam berkabut dingin 

Perempuan terlelap di atas labirin kata

Dan aku membacakan sepenggal kisah pendek

 

: Akhirnya hujan turun

Matahari pun tenggelam

Perempuan memberikan tanda mata

Hari-hari telah berlalu, namun musim panas masih ada, seharusnya butiran hujan sudah jatuh di telapak tanganku atau di tanah musim dingin yang begitu terlihat pasi. Seharusnya matahari telah menyerah, membiarkan kabut dingin datang, agar ia bisa mendengarku, sekedar mengatakan padaku untuk tidak menangis.

               Ah, aku rasa ia telah melupakannya, semua perkenalan kami dan pertanyaan-pertanyaan yang pernah menyudutkan kami tentang siapa, bagaimana, atau dengan siapa kami hidup. Ah, ia mungkin tidak akan mengingatnya lagi.

               Selanjutnya malam dihembus dingin, dari dinginnya bisa kucium harum langit hingga membawaku pada sketsa wajah. Yukai, seorang perempuan keturunan Jepang. Aku memanggilnya Kai. Ayahnya seorang muslim, arsitek asal Jepang. Sementara Ibunya asli Palembang. Tak perlulah kujelaskan lebih rinci bagaimana pertemuan kedua orang tuanya hingga menikah. Tapi akan kuceritakan siapa, bagaimana, dan dengan siapa kami hidup.

               Aku dapat mengingatnya, mulai dari lekukan tepi wajahnya yang berhijab, tirus wajahnya, ramping tubuhnya, tahi lalatnya yang berada di pertengahan antara ujung hidung kanannya dan pangkal lekukan senyum pipi kanannya, matanya yang kerap menyembunyikan rahasia hati, baju-bajunya yang berwarna ungu, senyum kecilnya, bibir tipisnya, hingga setiap kugenggam gitar tua ini. Aku selalu dapat mengingatnya.

               Ah, seandainya ia tahu, bahwa syair lagu yang kubuat untuknya dapat menenangkan hatiku, walaupun sekarang hari-hari masih suram, namun jika kunyanyikan, lagu ini benar-benar membuatku tersenyum. Bagaimana tidak aku dapat tersenyum, Kai memang seorang perempuan yang humoris dan iseng. Ketika kubuat lagu ini, ia terus menggodaku dengan berkata

"Pak Dosen sedang serius membuat puisi ya. Dasar modus!" ujarnya.

               Ah, hal itu membuatku menahan tawa sambil menggelengkan kepala, seakan aku ingin mencubit kedua pipinya. Akantetapi semua itu telah berlalu, dan sekarang aku hanya dapat berfikir, bahwa matahari dapat mengingatkan semuanya.

                                   ***

SIAPA?

Kami adalah sepasang kekasih tanpa tanda bukti. Kami berkenalan dengan tidak sengaja. Kami saling mengenal tanpa sebuah perkenalan. Kami saling menjaga tanpa harus memeluk satu sama lain. Kami saling menghormati kisah perjalanan hidup kami.

                Kami saling menghargai orang-orang di sekitar kami. Kami saling mencintai. Dan kami saling merasakan rindu tanpa harus bertemu.

                Kami saling merindukan dengan beribu abjad dan kata-kata indah. Kami saling mencintai dengan berlembar cerita pendek dan puisi. Kami saling bercumbu dengan suara hati. Dan kami saling menahan air mata karena kerinduan.

BAGAIMANA?

            Kisah kami sangat panjang. Namun aku akan menceritakan garis besarnya saja, sebab kurasa kertas ini tak akan sanggup memenuhi tinta yang harus kutumpahkan di atasnya. Baiklah, mungkin kalian ingin tahu bagaimana kisah kami.

            Malam itu, sebuah pesan singkat membawa kami berkenalan lebih jauh. Rasa penasaranku ingin mengenalnya lebih jauh juga ia rasakan. Mungkin kami dapat menyebutnya chemistry. Selanjutnya kalian dapat membayangkannya.

DENGAN SIAPA?

             Kata-kata terakhir dariku mungkin membuatnya tercenung. Aku harus mengatakan itu, karena aku tidak ingin melupakannya. Sebab aku sangat mencintainya. Entah apakah ia sama denganku. Entah apakah ia juga benar-benar mencintaiku, dan entah apakah ia sanggup menahan air matanya.

"Aku akan mengingatmu. Aku berjanji untuk menahan air mata ini, Kai. Aku berjanji akan lebih kuat dari siapapun. Kuharap kita tidak perlu mengucapkan selamat tinggal, sebab aku akan menutup mata, agar aku bisa melihatmu, lalu mengingatmu. Dan itu adalah kuanggap tanda mata darimu."

              Dan kami pun saling melambaikan tangan, tak mengucapkan selamat tinggal, hanya melambaikan tangan. Lalu kami menghilang bersama tenggelamnya matahari. Dan kembali pada kehidupan kami, pada keluarga kami, dan pada orang yang mencintai kami. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun