Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selongsong Waktu

22 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 22 Maret 2020   00:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelaparan terjadi di banyak pelosok desa. Bahkan disalah satu kabupaten, hampir seluruh maysarakat mengalami kekurangan yodium. Dan itu mengakibatkan mereka menjadi idiot. 

Sudah dua bulan aku menetap di kota miskin ini. Kesepian membuatku selalu menulis surat untuk Wulan, kekasihku. Ia seorang dokter kandungan. Aku mengenalnya saat sedang mengunjungi makammu. Saat itu Wulan sedang menaburkan bunga di sebuah makam yang berdekatan dengan makammu, Sahabat.

Kekasihku tercinta, Wulan...

Semoga harimu baik-baik saja, Sayang. Sudah  lama kita berpisah dari kehidupan yang biasa kita lakukan bersama. Aku masih ingat, saat kita bertemu di pemakaman. Ketika itu kita berdua saling melirik. Sambil menyeka keringat, aku memperhatikanmu hingga akhirnya kau melempar senyum padaku. Saat itu kita sama -- sama mengenang seseorang yang membuat kita bangga. Aku mengenang sahabatku, Jagad. Sedangkan kau mengenang sahabatmu yang wafat pada peristiwa yang sama. Kematian itu membangkitkan sikap kritisku terhadap kemiskinan, kebodohan dan pembodohan.

Sekarang aku berada di kota termiskin di Negara ini. Masyarakat setempat kental dengan budaya sesajian dalam beberapa ritual yang dianggap sakral. Bahkan media massa menjadikan itu semua sebagai berita menarik yang menguntungkan. Kau tahu, secara pribadi aku tak setuju dengan ritual yang menurutku bodoh dan tak masuk logika. Namun, setelah aku mendiskusikannya dengan pembimbingku Professor Soekamto, ia hanya menertawakanku. Katanya, aku tak boleh menulis sesuatu yang kontrolversial. Jika aku masih ngotot untuk menerbitkan tulisan itu, maka nanti aku akan dicekal, bahkan dijauhi dan diasingkan oleh kalangan -- kalangan yang merasa terancam karena tulisanku.

Sekarang aku merasakan darah Ibu Pertiwi berselimut kemiskinan di bawah kebodohan dan pembodohan. Menurutmu aku masih mempunyai empati, bukan? Empatiku tak pernah hilang, Sayang. Aku kian benci dengan orang - orang munafik, yang tak menjadi dirinya sendiri. Beberapa kalangan menginginkan ritual -- ritual yang dianggap sebagai kebudayaan masyarakat setempat itu, agar dapat dianggap sebagai agama. Dengan demikian mereka akan terbuai, bukan? Maka hidup miskin kemudian akan menjadi biasa. Kematian akibat kurang gizi dan kelaparan seakan harus diterima secara alami dan wajar. Padahal pemerintah daerah dan kalangan dewan telah meraup keuntungan dari pembelanjaan daerah untuk kemakmuran pribadinya. 

Oh, kuharap kau dapat memahami jalan pikiranku, bahwa sekarang aku sedang mengungkapkan fakta melalui tesis dan artikelku. Mungkin dengan cara ini aku dapat meneruskan perjuangan Jagad untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik. Entah apakah aku bisa mewujudkannya. Namun yang pasti aku tetap akan menentang. Dan jika mungkin suatu hari nanti aku menghilang, maka kuharap kau dapat mencari dan menemukanku. Sebab aku menghilang bukan karena aku meninggalkanmu, tapi mungkin karena tulisanku ini akan menjadi jerat untukku sendiri. Mungkin beberapa kalangan akan menganggap, bahwa tulisanku akan menggoyang stabilitas kekuasaan. Jadi kuharap kau dapat mencariku. 

~ Kekasihmu Tercinta, Arif ~

                    ***

Sebulan kemudian aku menerbitkan artikel yang kutulis, ternyata hasilnya cukup dahsyat. Artikelku membangkitkan semangat sebagian ormas untuk bersikap kritis terhadap pemerintahan pusat. Saat itu demo terjadi dimana-mana, beberapa orang harus mati karena kebiadaban prajurit yang dikerahkan pemerintah untuk membungkam demonstrasi.

Beberapa bulan kemudian aku menghilang. Tepatnya aku tak dapat mengingat kejadian itu. Yang kutahu, aku terbangun dari pingsan selama dua hari. Dan ketika sadar, aku berada di dalam sebuah ruang sempit dan pengap. Entah dimana, bersama beberapa orang yang sedikit kukenal. Mungkin saat itu aku menjadi seperti tahanan bersama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun