Memasuki masa-masa seleksi staf BEM, saya baru menyadari satu hal yang sangat penting. Ya, terkait dengan nilai profesionalisme dan kekeluargaan dalam berorganisasi. Tulisan kali ini mungkin akan menjadi curhatan (yang harusnya rahasia) milik saya tentang topik ini. Curhatan ini, seperti tulisan saya pada umumnya, tentu akan berisi opini tidak populer saya tentang pandangan dan sikap saya terhadap keberadaan BEM di kampus.
Sebagai prolog, saya ingin memberi tahu teman-teman semua bahwa sejujurnya saya sudah sadar sejak dulu, bahwa saya tidak pernah (dan mungkin tidak akan pernah [semoga saja dugaan saya salah]) cocok bekerja di organisasi semacam BEM. Kondisi tersebut menurut saya terjadi sesederhana karena orang-orang masuk BEM punya tujuan dan nilai yang berbeda jauh dengan saya. Jauh sekali.
Kalau menelisik pertanyaan orang-orang terhadap BEM ketika saya dan calon-calon Ketua sebelumnya mencalonkan sebagai Ketua BEM, pasti pertanyaan tentang "profesionalitas vs. kekeluargaan" akan selalu muncul. Entah itu berwujud dalam pertanyaan antara "task vs. person oriented?", "proker vs. staf oriented?", dan banyak lagi wujudnya. Namun pada dasarnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut mempertanyakan terkait dengan apakah saya lebih peduli dengan profesionalitas atau kekeluargaan di BEM.
Dan teman-teman terdekat saya sudah pasti tahu saya akan menjawab seperti apa jika diberi pertanyaan seperti itu. Jelas, saya akan memilih BEM yang profesional dibanding kekeluargaan. Pandangan ini juga yang membuat saya berani mengatakan kepada teman-teman semua bahwa BEM sebetulnya bukan tempat untuk belajar.
Saya pribadi selalu beranggapan bahwa BEM adalah tempat di mana mahasiswa melakukan hal lebih. Ya, mencurahkan waktu lebih dari biasanya, mencurahkan tenaga lebih dari biasanya, mencurahkan pikiran lebih dari biasanya, bahkan mencurahkan uang lebih dari biasanya, yang mana sasaran utamanya adalah untuk BEM, civitas kampus, dan tentunya masyarakat umum.
Ketika mindset yang ditanamkan sejak awal adalah BEM merupakan tempat untuk belajar dan mengembangkan diri, maka fokusnya sejak awal sendiri sudah salah target. Tujuan utama orang masuk BEM dan berkontribusi di dalamnya menjadi salah. Salah karena egois. Ya, karena sasarannya terlalu terfokus pada diri sendiri.
Bayangkan saja, jika BEM yang notabene lembaga eksekutif dijabat oleh orang yang tujuan utamanya adalah untuk belajar, akan bagaimana kinerjanya? Kalau dibandingkan dengan lembaga eksekutif di level negara Indonesia, sangat tidak terbayang oleh saya jika Jokowi, Soekarno, dan pemimpin hebat lainnya menjabat lembaga eksekutif di Indonesia sebagai presiden dengan tujuan utama untuk 'belajar dan mengembangkan diri', mungkin Indonesia tidak akan merdeka seperti sekarang.
Sayangnya, fakta dan data di lapangan berkata lain. Saya bisa mengatakan bahwa lebih dari 80% orang pasti akan mengatakan bahwa tujuan utama mereka masuk BEM untuk 'belajar berorganisasi', 'punya skill tertentu', dsb.Â
Mana ada calon pengurus yang mengatakan bahwa tujuan mereka masuk BEM adalah keinginan mereka dalam berkontribusi untuk masyarakat? Pun saya sendiri sebagai staf mengatakan hal tersebut (ingin masuk BEM untuk belajar) ketika saya mencoba masuk ke BEM di tahun pertama saya akan menjabat sebagai staf.
Dari data tersebut, kita bisa tahu konsekuensinya adalah kontribusi yang setengah-setengah. Tidak betul-betul all out dikeluarkan untuk mengabdi, karena memang tujuan utama masuk ke BEM bukan untuk mengabdi, namun untuk mengembangkan diri. Ya, untuk belajar.
Implikasi dari pandangan masuk BEM untuk belajar inilah yang membuat orang-orang yang berada di top-level/tim inti seperti saya akan... capek. Karena saya punya mimpi sendiri untuk mewujudkan BEM yang x, BEM yang y, BEM yang z dan subordinat/bawahan saya mempunyai tujuan utama masuk BEM bukan untuk x, y, dan z, namun untuk belajar dan mengembangkan diri.