Tulisan ini terinspirasi oleh Dept. Kajian Strategis BEM FISIP UI 2016, kang Emil, dan akang Edi Rama.
Jakarta
Pernahkah terpikirkan oleh anda bahwa hidup di Jabodetabek itu sangatlah sulit dan stressful? Menurut saya sih begitu. Bagi saya kehidupan di kota Jakarta dan sekitarnya ini tidak didesain untuk seluruh lapisan masyarakat. Contohnya saja masalah transportasi. Untuk menikmati transportasi yang cepat, enak, dan nyaman, anda setidaknya harus memiliki mobil pribadi (dan uang banyak untuk bensin, sebab akan cepat habis karena macet). Kalau tidak, ya bersiap-siaplah untuk jadi “sarden” di KRL, berdesakan di busway, kepanasan di angkot, atau bermacet ria sambil kehujanan di atas motor.
Belum lagi ada aspek lain yang memengaruhi tingkat stress seperti rekreasi, kurang-lebih 60% orang Jakarta memilih mall sebagai tempat rekreasi (Kamil, 2010). Mayoritas orang pergi bukan ke taman, danau, museum, atau ruang publik, tapi ke mall.
Mungkin untuk orang kaya, pergi ke mall akan mengurangi stres dan penat ketika tinggal di kota Jakarta. Namun, bagi saya sebagai mahasiswa rantau dengan ekonomi menengah? Memang berkurang sih stressnya untuk sementara, namun sepulang dari mall, saya berani jamin bahwa saya akan makin stres karena budget keuangan untuk satu minggu semuanya ludes. Ya, habis untuk makan dua kali di restoran mall. Pertanyaan yang sering saya ajukan dalam hati saat tinggal untuk berkuliah di daerah Jabodetabek adalah:
Memangnya tidak stress ya orang-orang di Jabodetabek ini?! Kok mau-maunya tinggal di sini?
Ya, menurut saya, Jakarta belum layak ditinggali oleh semua lapisan masyarakat. Padahal, seharusnya sebuah kota itu layak untuk semua orang, baik kaya, miskin, tua, ataupun muda.
Ironisnya, menurut saya dari dulu pembangunan di kota Jakarta masih belum berfokus kepada kebutuhan masyarakatnya. Banyak dibangunnya perumahan, mall, apartment, bahkan sampai sekarang harus reklamasi pun menurut saya bukan kebutuhan penting dan mendesak bagi warga Jakarta. Memenuhi kebutuhan siapa dong? Investor asing mungkin, orang kaya mungkin, dan banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Taman Kota
Kenapa saya ingin membuat taman? Well, kembali lagi saya ulangi pernyataan saya yang di atas, "Jakarta bukanlah kota yang layak untuk semua orang, Padahal seharusnya kota itu layak untuk semua lapisan masyarakat". Tamanlah solusinya, taman merupakan infrastruktur yang relatif murah, taman dapat terlihat dengan jelas oleh masyarakat, dan menyenangkan bagi semua lapisan masyarakat.
Kalau nenek anda ingin senam pagi, tinggal pergi ke taman. Kalau kakek anda ingin bersantai sambil melihat nenek senam pagi, tinggal pergi ke taman. Anak balita sampai SD, baik itu miskin atau kaya, bisa main bersama ketawa-ketiwi di taman. Anak dengan tingkat pendidikan SMP sampai dengan anak kuliah bisa memakai taman untuk nongkrong, pacaran, atau nugas bareng. Selain itu, pedagang-pedagang bisa memanfaatkan orang yang nongkrong supaya ekonomi daerah tersebut maju. See? Itulah mengapa saya ingin taman di setiap daerah di Jabodetabek. Ketimbang membuat perpustakaan terbesar se-Asia Tenggaranya DPR dulu, atau perihal reklamasi, memang mau dijadikan apa sih lahannya? Urgensinya apa?
Pada akhirnya, dijalankan atau tidaknya solusi ini kembali lagi ke masyarakat, kalau masyarakat sadar akan politik, aware akan hak atas kota serta ketidaklayakan ini dan peduli, mungkin Jakarta dan sekitarnya bisa lebih layak daripada sekarang. Mengutip perkataan kang Emil, kalau rakyat masih saja menunggu pemerintah untuk membuat fasilitas yang dapat berguna bagi rakyat itu sendiri, sampai komputer beranak pun gak bakalan jadi-jadi. Intinya, ini jadi tanggung jawab masyarakat kalau memang mau jadi. Pokoknya kudu jadi lah, karena masyarakat memiliki hak atas kota. Ya, yaitu hak untuk membangun kotanya sendiri.