Beberapa waktu lalu, media sosial sempat diramaikan oleh kisah seorang guru SMA yang meluapkan kekesalannya di dunia maya setelah menemukan salah satu siswanya belum mampu menulis dengan benar. Ungkapan emosional tersebut memicu gelombang komentar dari berbagai pihak, terutama dari kalangan guru. Dalam unggahannya, guru tersebut mempertanyakan peran guru-guru di jenjang pendidikan sebelumnya serta tanggung jawab orang tua dalam membimbing siswa, sehingga muncul kondisi seperti itu. Meski persoalan ini sudah ditangani oleh Dinas Pendidikan setempat, kisah tersebut tetap menyisakan bahan refleksi yang mendalam bagi kita semua, khususnya bagi saya yang telah mengabdikan diri sebagai guru sekolah dasar selama lebih dari 15 tahun.
Tidak dapat dimungkiri, melihat siswa SMA yang belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca dan menulis adalah kenyataan yang sangat memprihatinkan. Saat duduk di bangku SMA, siswa seharusnya sudah siap mempelajari ilmu pengetahuan lanjutan yang menuntut penguasaan kompetensi dasar tersebut. Tanpa kemampuan membaca dan menulis yang memadai, siswa pasti akan kesulitan mengikuti pelajaran. Di sisi lain, guru pun menghadapi dilema. Jika melanjutkan pembelajaran ke tingkat lanjutan, siswa tidak akan mampu mengejar. Namun, jika memberikan perhatian khusus atau mengadakan kelas tambahan, guru akan terbatas oleh waktu dan tugas lainnya. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana kompetensi dasar tersebut dapat terlewatkan di jenjang sebelumnya, hingga akhirnya menjadi beban yang harus dihadapi di tingkat SMA.
Namun demikian, melampiaskan kekesalan di media sosial bukanlah solusi yang bijak. Sebagai pendidik, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga etika dan integritas. Ungkapan kekesalan seperti itu dapat menyakiti banyak pihak, termasuk siswa yang bersangkutan, orang tua, hingga rekan guru di jenjang sebelumnya. Padahal, guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Tindakan kita, baik perkataan maupun perbuatan, akan selalu menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat.
Sebagai pendidik, tantangan seperti ini seharusnya menjadi pemicu untuk merenungkan peran kita dalam ekosistem pendidikan. Alih-alih menyalahkan, kita perlu bersatu dan berkolaborasi untuk mencari solusi terbaik. Setiap jenjang pendidikan memiliki tanggung jawab yang saling berkesinambungan. Mari jadikan peristiwa ini sebagai pengingat untuk terus memperkuat fondasi pendidikan dasar, karena keberhasilan pendidikan adalah hasil kerja bersama yang didasari oleh dedikasi, empati, dan semangat untuk terus belajar.
Berbagai asumsi bermunculan ke permukaan, bahkan hingga ada pihak yang menyebut peristiwa ini sebagai kegagalan produk Kurikulum Merdeka. Namun, saya memilih untuk tidak melihat persoalan ini dari sudut pandang kurikulum. Sebagai seorang guru sekolah dasar, saya ingin memberikan opini dari perspektif yang lebih personal dan reflektif.
Saling menyalahkan, tentu saja, tidak akan pernah menjadi solusi. Sebagai pendidik, kita harus mampu melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, bukan hanya fokus pada satu sisi semata. Ada begitu banyak variabel yang memengaruhi proses belajar seorang siswa---mulai dari faktor lingkungan, dukungan keluarga, hingga kesiapan mental dan emosional siswa itu sendiri. Sering kali, faktor-faktor ini berada di luar kendali guru, sehingga menuntut kita untuk lebih bijak dan mendalam dalam mencari akar masalah.
Menjadi seorang guru sekolah dasar, misalnya, bukanlah tugas yang sederhana seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang. Di balik senyum hangat yang kita tunjukkan setiap hari, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Mengajarkan kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung bukan sekadar mengarahkan siswa untuk memahami huruf dan angka, tetapi juga membangun fondasi karakter, kemandirian, dan rasa percaya diri. Setiap siswa membawa cerita dan latar belakang yang berbeda, yang sering kali memengaruhi cara mereka belajar dan berinteraksi di kelas.
Oleh karena itu, alih-alih terjebak dalam polemik yang memperkeruh suasana, kita sebagai pendidik perlu bersatu, berkolaborasi, dan mencari solusi bersama. Pendidikan adalah perjalanan panjang yang melibatkan berbagai pihak, dan setiap langkah kecil yang kita ambil untuk mendukung siswa kita hari ini akan berdampak besar bagi masa depan mereka. Sebagai guru, mari terus berupaya menjadi agen perubahan yang penuh kasih, sabar, dan optimis, karena kita percaya bahwa setiap siswa memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang dengan cara dan waktunya masing-masing
Tantangan Mengajar di Sekolah Dasar
Guru SD bekerja dengan mengajar anak-anak usia 6--12 tahun, fase perkembangan di mana mereka masih gemar bermain, bereksplorasi, dan bergantung pada kasih sayang serta perhatian orang dewasa di sekitarnya. Pada tahap ini, guru dituntut untuk tidak hanya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung), tetapi juga menanamkan karakter yang baik, membangun kebiasaan positif, dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan bermain dan belajar.