Mohon tunggu...
ifahlatifah
ifahlatifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi meluapkan isi kepala melalui tulisan dan konten di instagram

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kenaikan PPN: Antara Keseimbangan Piskal atau Beban Masyarakat?

18 Desember 2024   21:14 Diperbarui: 18 Desember 2024   21:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara guna menjaga stabilitas fiskal, namun di sisi lain, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian domestik, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah, patut menjadi perhatian serius.

Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN adalah bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk menyeimbangkan kondisi fiskal negara di tengah guncangan ekonomi global. Namun, keputusan ini tetap tidak luput dari kritik, terutama dalam konteks dampaknya terhadap kelompok masyarakat yang selama ini sudah kesulitan menghadapi beban hidup pasca-pandemi.

Kebijakan ini memang berfokus pada barang dan jasa yang dianggap "mewah" atau premium, yang sebagian besar dikonsumsi oleh kalangan atas. Di atas kertas, ini mungkin terlihat adil, karena kelompok tersebut memiliki daya beli yang lebih besar. Namun, dampak tidak langsung dari kebijakan ini bisa lebih luas dari yang diperkirakan. Ketika tarif PPN naik, harga barang dan jasa lain yang terkait, meski tidak langsung masuk dalam kategori mewah, juga akan meningkat. Hal ini mempengaruhi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang paling terdampak oleh fluktuasi harga.

Sebagai contoh, kebutuhan pokok seperti bahan pangan dan energi rumah tangga yang tidak terkategori dalam barang mewah, namun dipengaruhi oleh kenaikan harga barang dan jasa lainnya, akan semakin membebani daya beli masyarakat. Kenaikan tarif PPN akan memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada, terutama di tengah proses pemulihan ekonomi yang masih berlangsung.

Sementara itu, petisi penolakan yang berkembang di kalangan masyarakat, yang kini telah mengumpulkan lebih dari 54 ribu tanda tangan, mencerminkan ketidakpuasan yang meluas terhadap kebijakan ini. Banyak yang merasa bahwa kebijakan ini hanya akan memperburuk jurang kesenjangan sosial, dan tidak memperhitungkan secara matang kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Aksi penolakan ini bukan hanya sebatas protes terhadap kenaikan tarif PPN, tetapi juga menggugat pemerintah untuk lebih peka terhadap kebutuhan ekonomi masyarakat yang semakin sulit.

Menanggapi hal ini, pemerintah perlu menyadari bahwa kebijakan fiskal yang ditujukan untuk kesejahteraan negara harus seimbang dengan perhatian terhadap kesejahteraan rakyat. Sebuah kebijakan yang berhasil adalah yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang menguntungkan semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok tertentu.

Pemerintah perlu menyadari bahwa kebijakan fiskal yang ditujukan untuk kesejahteraan negara harus seimbang dengan perhatian terhadap kesejahteraan rakyat. Sebuah kebijakan yang berhasil adalah yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang menguntungkan semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok tertentu. Jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan kebijakan pendamping yang mengurangi dampak negatifnya, maka yang terjadi justru akan semakin memperburuk ketimpangan sosial dan menyulitkan masyarakat yang sudah tertekan. Dialog terbuka dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat sangat dibutuhkan agar kebijakan ini bisa benar-benar memberikan manfaat bagi negara dan rakyat secara keseluruhan.

Penulis: Ifah Latifah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun