Mudik yang merupakan singkatan dari mulih dilik (=bhs Jawa) yang berarti pulang sebentar mempunyai banyak filosofi. Dan tentunya sudah sangat sering dibahas dalam beberapa sudut pandang. Suasana Idul Fitri kemarin membuat penulis termotivasi untuk mencoretkan sedikit uneg-uneg yang ada di benak penulis. Kegembiraan mudik yang nyaris lenyap 2 tahun belakangan ini karena pandemi seperti terbayarkan saat hari raya tahun ini. Ribuan bahkan jutaan mobil berjubel dijalanan untuk antri pulang. Silaturahmi yang sempat terhambat selama pandemi seakan terbayarkan meski harus menempuh macetnya jalanan.
Dalam tulisan ini, penulis coba kupas mengenai mudik  dengan kenyataan umum yang terjadi. Dari pihak orangtua bisa digambarkan bagaimana sukacitanya saat putra atau putrinya pulang dari perantauan dan bagaimana kerepotan mereka menyambut kedatangan buah hatinya tersebut. Sementara itu dari sudut pandang anak-anak yang sangat  jarang memikirkan tentang kerepotan orangtuanya menghadapi kedatangan ana cucunya  tersebut.
Kedatangan anak-anak yang tinggal jauh di perantauan sangatlah diimpi-impikan dan dinanti orangtua. Biasanya hanya suara yang mereka dengar dan gambar lewat layar serta kabar  tentang keadaan mereka saja yang mampu melebur rasa rindu tanpa bisa menjamah dan memeluk fisiknya,tetiba kedatangan mereka mewujud. Tak ayal persiapan dan sambutan dipersiapkan mereka dengan penuh antusias dan matang. Si buah hati akan kembali ke rumah dengan seluruh anggota keluarganya. Persiapan tempat jauh-jauh haripun mulai dilakukan. Rencana masak makanan kesukaan sang buah hati mulai disusun rapi. Semua hal dipersiapkan untuk menyambut kedatangan sang putra dan putri beserta pasangan dan cucu kesayangan.
Sementara di perantauan sang buah hatipun mulai berkhayal tentang menu dan hal-hal yang akan dilakukan di kampung halaman nanti. Bahkan banyak dari mereka sudah menelpon untuk memesan makanan yang ingin mereka nikmati saat pulang ke tanah kelahiran nanti. List pesanan makanan dan cemilan tertulis rapi, bahkan malah telah mereka kirim ke bapak ibu mereka agar nanti bisa terpenuhi keinginannya.
Hari yang dinanti tiba, saat mudik di kampung halamanpun menjadi kenyataan. Sambutan dan tangis haru serta suka cita bapak ibu menjadi nuansa tak terlupa. Setelah sungkeman tanda penghormatan kepada mereka terlaksana. Ruang makanlah tujuan selanjutnya. Dengan antusias bercerita tentang kesibukan di tanah rantau dan perkembangan cucu, hidangan yang telah dimasak bapak ibupun ikut terlibas. Rasa puas dan kenyang dengan hidangan yang tersedia, memanjakan perut mereka dan menjalar ke mata untuk menikmati rasa kantuk yang nikmat setelah lelah menempuh perjalanan jauh. Ngantuk tak terelakkan, bapak ibupun mempersilakan tidur ditempat yang telah mereka rapikan jauh-jauh hari. Tinggalah piring,gelas dan tumpukan sampah sisa makanan anak cucu tercinta. Tak tega melihat carut marut keadaan di ruang makan, bapak ibupun merapikan dan membersihkannya. Cuci piring, mengelap meja, menyapu kembali ruangan serta menghangatkan sisa makanan yang ada mereka lakukan tanpa keluh kesah.
Tak sampai disitu ceritanya, kerepotan itu tetap berlanjut. Sementara anak cucu tertidur, mereka memikirkan menu makanan dan memasaknya kembali untuk makan malam buah hati mereka. Tak ada raut wajah susah, yang ada hanya kebahagiaan. Tak ada rasa lelah yang ada hanya keikhlasan untuk menghadirkan sesuatu yang terbaik saat buah hati mereka kembali ke pangkuan dan pulang sebentar.
Itulah  mungkin sebuah fenomena yang penulis jumpai. Meski penulis sangat berharap semoga fenomena tersebut hilang. Dikaitkan dengan kebaktian seorang anak kepada kedua orangtunya, hal itu sungguh sangat ironis, meski kedua orangtuanya melakukan itu dengan penuh kegembiraan dan keikhlasan. Dan mereka ( kedua orangtua) beranggapan bahwa yang mereka lakukan semata-mata untuk menyenangkan anak,mantu dan cucunya itu hanyalah setahun sekali dan tidak tiap hari. Ingin penulis merubah fenomena tersebut dengan merubah kebiasaan yang selama ini terjadi.
Orangtua dimanapun dan kapanpun tetaplah mempunyai kedudukan tinggi yang harus dijadikan raja bagi anak-anaknya. Tak selayaknya seorang raja melayani hambanya, sebaliknya rajalah yang harus dilayani. Meski orangtua dengan sukarela dan gembira membuatkan semua yang diinginkan anak-anaknya, rela bersusah payah menyambut anak cucunya tapi kita sebagai anaknya haruslah berupaya semampu mungkin tidak menyusahkan mereka. Penulis punya beberapa tips, misalkan keluarga itu mempunyai anak lebih dari satu dan berniat mudik ketempat orangtua, seyogyanyalah orangtua kita tidak repot atau bahkan sampai lelah melayani mereka. Kita sebagai anak haruslah mempunyai inisiatif untuk berbagi tugas dan kewajiban dengan saudara kita yang lain.
Pembagian tugas itu didasarkan pada kemampuan saudara-saudara kita,andaikan ada saudara dekat kita yang tinggalnya dekat dengan orangtua kita, kita beri mereka tugas untuk membersihkan rumah dan mempersiapkan kedatangan kita serta saudara kita yang lain.
Kemudian bukan daftar menu atau pesanan kita dahulu yang kita kirim, tapi mungkin lebih baik uang yang pertama kali kita kirim dan minta kepada saudara kita yang terdekat dengan bapak ibu untuk membuatkan masakan yang kita inginkan dengan memesan atau menyuruh orang di kampung halaman untuk membuatkan. Larangan keras bagi bapak dan ibu untuk bersusah payah dan berlelah lelah memasakkan. Andaipun tiadak ada saudara yang dekat dengan bapak ibu kita, kita dapat berbagi tugas dengan saudara kita yang sama-sama diperantauan untuk membawa masakan dan cemilan untuk dibawa ke tanah kelahiran nanti.
Sekali lagi bapk dan ibu dilarang keras repot. Bapak ibu dilarang memasak kecuali nanti saat berkumpul dan kita bisa bersama-sama memasak. Intinya tak boleh bapak ibu repot karena kedatangan kita. Sehingga saat mudik kita tetap bisa menempatkan orangtua kita sebagai raja,sebagai orang yang paling bahagia dengan kedatangan kita. Bukan orang yang paling sibuk saat kita pulang, bukan orang yang hanya masak dan mencuci piring sementara kita makan dan ngemil sambil ngobrol dengan saudara kita di ruang depan.