Refleksi secara etimologi didefinisikan sebagai cerminan; gambaran; gerakan atau pantulan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban atas suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar. Kata ini sering digunakan oleh banyak orang ketika mereka berada di suatu momen evaluasi. Refleksi jikalau diberikan awalan me- dan –kan menjadi “merefleksikan” adalah kata yang digunakan orang banyak secara kontekstual ketika mereka mencoba mengetahui hal apa saja yang telah mereka lakukan serta efek-efek yang timbul dari apa yang mereka telah laksanakan tersebut.
Pada tulisan ini, penulis mencoba memantik para Pembaca untuk menyadari sudah sejauh mana tindakan-tindakan berdaya yang telah diambil oleh para Pembaca. Jikalau ditilik ke belakang dari awal tahun Januari 2021 sampai dengan sekarang, banyak sekali kejadian-kejadian luar biasa yang telah bermanifestasi di dunia ini terutama di Indonesia. Kejadian-kejadian itu yang berada di luar lingkar pribadi kita terkadang membuat kita lupa terhadap keberadaan dari diri kita sendiri, kita menjadi asik berfokus ke luar, tapi lalai menimbang diri sendiri. Padahal kita telah memahami bahwa orang pertama yang selalu ada ketika kita dalam keadaan krisis adalah diri sendiri.
Prioritas Pertama adalah Diri Sendiri
Kenyataan yang paling tepat dari sekian banyak kenyataan adalah manusia itu dituntut untuk memprioritaskan dirinya sendiri! Mungkin para Pembaca akan mengerutkan dahinya dan berprasangka kepada penulis bahwa penulis sedang mencoba mengatakan kalau manusia itu makhluk egois. Manusia yang mencoba memprioritaskan dirinya sendiri terlebih dahulu bukanlah makhluk yang egois, tapi dia adalah makhluk yang sangat cerdas.
Ketika seseorang sadar bahwa dirinya sendiri adalah seseorang yang wajib diprioritaskan paling pertama maka dia telah memutus rantai jahiliah dari akar yang paling dalam. Alasan pertama kenapa manusia harus memprioritaskan dirinya terlebih dahulu sebab hal yang paling benar-benar di dalam kendali kita adalah diri kita sendiri. Rumi yang cerdas ketika kecerdasannya berevolusi menjadi kebijaksanaan maka fokusnya berubah dari ingin mengubah dunia menjadi ingin mengubah dirinya sendiri.
Secara empiris kita dapat melihat bahwa orang-orang sukses itu bermula dari perjalanan mereka untuk memahami diri mereka sendiri lalu menggunakan pemahaman itu untuk mengubah diri mereka sendiri terlebih dahulu baru orang lain. Einstein sang fisikawan super jenius itu sudah menyadari hal ini dari jauh-jauh hari. Slogan-slogan yang Einstein lontarkan tentang imajinasi seperti “Imajinasi lebih penting dari pengetahuan” dan semisalnya adalah hal yang menunjukan bahwa Einstein adalah orang yang memprioritaskan dirinya sendiri (imajinasi) terlebih dahulu baru setelah itu orang lain. Einstein lebih memprioritaskan imajinasi atau gambaran yang berada di dalam dirinya baru setelah itu pengetahuan-pengetahuan yang berada di luar dirinya. Tindakan memprioritaskan diri sendiri terlebih dahulu baru orang lain adalah suatu hal yang juga diafirmasi oleh Tuhan.
Di dalam Surat At-Tahrim ayat ke-6 pun Allah subhana wataala memerintahkan manusia untuk menjaga dirinya sendiri terlebih dahulu dari api neraka baru setelah itu kerluarga terdekatnya. Kita perlu menanamkan paradigma bahwa hal yang pertama wajib kita prioritaskan adalah diri kita sendiri baru setelah itu orang lain. Lalu hal selanjutnya yang wajib kita renungkan dalam-dalam adalah “apa sebenarnya tujuan hidupku ini?” “Sudah sejauh manakah tindakan-tindakan yang aku ambil dalam meraih tujuan-tujuan itu?” Atau pertanyaan yang paling penting dari semua pertanyaan penting yaitu “ Siapa sebenarnya diriku ini, bagaimana cara diriku memandang diri sendiri, serta apakah aku sudah membahagiakan diri sendiri?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat penting diajukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri supaya kita engeuh (baca=sadar) terhadap keberadaan dari diri sendiri. Ketika kita sadar bagaimana cara kita mendefiniskan diri sendiri serta pengalaman yang kita alami maka pada saat itu juga kita telah menggunakan tuas pengungkit yang paling berdaya di semesta. Kita akan tahu mana definisi dari diri kita sendiri yang bersifat ilusi dan mana yang bersifat abadi. Kebanyakan dari kita lupa untuk mencari tahu perihal bagaimana cara kita memandang diri sendiri dan cara kita membahagiakan diri sendiri. Definisi yang sempit yang kita berikan terhadap diri sendiri adalah penjajahan yang paling nyata dan kejam di dunia ini. Oleh sebab itu silakan Pembaca merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas. Selamat Bertafakur!
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H