Ifadah Nurul Fajriyah1) , Vini Indah Permatasari 2) , Yolanda Al Fauziah 3) 1) Jurusan Tadris Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Siber Syekh NurJati Cirebon. Jl. Perjuangan Sunyaragi, Cirebon 45132, Jawa Barat, Indonesia
ABSTRAKÂ
Bekicot (Achatina fulica) dikenal sebagai salah satu spesies gastropoda yang memiliki potensi besar dalam bidang kesehatan, khususnya sebagai penyembuh luka. Kajian literatur ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa aktif dalam lendir bekicot serta mengevaluasi efektivitas penggunaannya sebagai agen penyembuh luka. Lendir bekicot mengandung senyawa bioaktif seperti allantoin, glikoprotein, kolagen, dan asam glikolat yang berperan dalam regenerasi jaringan, antiinflamasi, serta antibakteri. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan lendir bekicot dapat mempercepat proses penyembuhan luka, baik luka akut maupun kronis, melalui stimulasi produksi sel fibroblas dan pengurangan infeksi. Metode yang sering digunakan meliputi ekstraksi lendir dengan cara mekanis atau kimiawi. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai potensi klinis lendir bekicot sebagai bahan alami untuk terapi luka dan mendorong pengembangan produk farmasi berbasis bahan alam yang berkelanjutan.Â
Keywords: Achatina fulica, Lendir, Penghalus luka, Penyembuh luka.
PENDAHULUANÂ
Bekicot (Achatina fulica), yang sering dianggap sebagai hama, ternyata memiliki potensi besar dalam dunia kesehatan dan kosmetik. Salah satu komponen penting dari bekicot adalah lendirnya, yang kaya akan senyawa biologis seperti achasin dan acharan sulfat. Senyawa ini memiliki sifat antibakteri, antiinflamasi, dan regeneratif, yang menjadikannya bahan alami yang sangat berguna dalam penyembuhan luka dan perawatan kulit. Dengan ketersediaannya yang melimpah di Indonesia, bekicot menawarkan alternatif yang ekonomis dan ramah lingkungan untuk produk farmasi dan kosmetik konvensional (Anonimus, 2017).
 Secara tradisional, lendir bekicot telah digunakan oleh masyarakat untuk menyembuhkan luka. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian ilmiah telah mengungkapkan mekanisme di balik manfaat ini. Lendir bekicot terbukti mengandung glikosaminoglikan seperti acharan sulfat yang mendukung proses proliferasi jaringan, serta protein bioaktif yang membantu mencegah infeksi dan mempercepat pembentukan jaringan baru pada luka (Beisher, 2018).Â
Di bidang farmasi, pengembangan sediaan berbasis lendir bekicot, seperti nanoemulsi, semakin meningkatkan efektivitasnya. Nanoemulsi, yang memanfaatkan teknologi ukuran partikel nano, memungkinkan bahan aktif dari lendir bekicot menembus kulit dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi ini menjadikan lendir bekicot lebih kompetitif sebagai bahan utama dalam produk penyembuh luka dibandingkan dengan bahan kimia sintetis (Bellanti, 2020).Â
Selain aplikasi medis, lendir bekicot juga mulai dilirik dalam industri kosmetik. Kandungan alantoin, elastin, dan kolagen dalam lendir bekicot membantu memperbaiki elastisitas kulit, mengurangi tanda penuaan, serta memberikan efek penghalus kulit. Hal ini menjadikan lendir bekicot bahan dasar yang menjanjikan untuk produk perawatan kulit alami (Beng, A. A, et al. 2019). Namun, meskipun potensinya sangat besar, pemanfaatan lendir bekicot masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan penelitian mengenai formulasi dan stabilitas produk berbasis lendir bekicot. Oleh karena itu, diperlukan inovasi lebih lanjut untuk mengoptimalkan pengolahannya agar dapat digunakan secara luas di berbagai bidang. Bekicot yang sering dipandang sebelah mata dapat menjadi solusi berkelanjutan dalam dunia kesehatan dan kecantikan. Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang tepat, sumber daya ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi tetapi juga berkontribusi pada pengurangan limbah dan pelestarian lingkungan (Brigh, et al. 2019)Â
METODE PENELITIANÂ
Pada penelitian ilmiah kali ini, riset ini dilakukan pada tanggal 1-2 Desember 2024 di Cirebon, menggunakan metode kualitatif menggunakan kajian literatur. Adapun hewan yang dipilih adalah Bekicot (Achatina fulica). Dalam kajian literatur dilakukan dua pengamatan dimana hewan diambil lendirnya dan masukan kedalam wadah steril, lalu saring lendir menggunakan saringan untuk memisahkan kotoran dan oleskan lendir yang telah disaring pada luka yang bersih dan kering, ulangi sesuai kebutuhan.Â
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANÂ
Mollusca adalah salah satu filum hewan yang paling beragam dan banyak jumlahnya di dunia, dengan karakteristik utama yang mencakup tubuh lunak yang biasanya dilindungi oleh cangkang keras atau kulit luar yang disebut perisoma. Banyak dari mereka memiliki cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, yang dapat berupa cangkang keras atau sisik, memberikan perlindungan dan dukungan struktural. Mollusca juga dilengkapi dengan kaki berotot yang digunakan untuk pergerakan, yang bisa berbentuk seperti capit (seperti pada kecebong) atau memiliki struktur lebih kompleks (seperti pada cumi-cumi). Sistem sirkulasi Mollusca terbuka, di mana darah tidak selpisah dari cairan interstisial, dan mereka memiliki sistem pencernaan yang berkisar dari mulut ke anus, termasuk organorgan seperti esofagus, lambung, dan usus.Â
Sistem saraf mereka relatif maju, memungkinkan Mollusca untuk merespons rangsangan lingkungan dan melakukan fungsi fisiologis yang kompleks. Sebagian besar mollusca bereproduksi secara seksual, meskipun beberapa juga dapat bereproduksi secara aseksual. Mollusca menunjukkan adaptasi yang luas terhadap berbagai kondisi lingkungan, dapat ditemukan di habitat laut, sungai, dan daratan. Kelompok-kelompok utama dalam filum ini termasuk gastropoda (seperti siput dan cumi-cumi), bivalvia (seperti kerang dan tiram), dan cephalopoda (seperti cumi-cumi dan gajah laut), masing-masing dengan karakteristik tambahan yang membedakan mereka dari kelompok lainnya (Ghose, K., C. 2018).Â
Hasil pengamatan pada Bekicot (Achatina fulica) dapat dilihat pada Tabel 1.Â
Tabel 1. Pengamatan pada Penyembuhan Luka menggunakan Lendir Bekicot (Achatina fulica)Â
Hari Kondisi Kulit Kondisi Akhir 1 Luka terlihat merah dan bengkak Fase implamansi aktif 2 Pembekakan dannyeri berkurang Adatanda-tanda perbaikan 3 Proses Epitelisasi dimulai Luka mulai kering 4 Kulit mulai menutup Pengurangan signifikan pada kemerahan 5 Luka hampir sembuh sepenuhnya Kulit terlihat lebih sehat dantidak ada infeksi.Â
Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)Â
Kingdom : AnimaliaÂ
Phylum : MolluscaÂ
Kelas : GastropodaÂ
Ordo : StylommatophoraÂ
Family : AchatinidaeÂ
Genus : AchatinaÂ
Spesies : Achatina fulicaÂ
Author : Bowdich, 1822.Â
Lendir bekicot, terutama dari spesies Achatina fulica, memiliki potensi besar sebagai bahan alami dalam bidang medis dan dermatologi, khususnya dalam penyembuhan luka. Kandungan bioaktif lendir bekicot terdiri dari senyawa penting seperti asam hialuronat, alantoin, glikoprotein, kolagen, elastin, enzim, dan senyawa antimikroba. Kombinasi senyawa- senyawa ini memungkinkan lendir bekicot memiliki sifat regeneratif, antiinflamasi, dan antimikroba yang mendukung proses penyembuhan luka. Asam hialuronat, misalnya, berfungsi menjaga kelembapan pada area luka, mendorong migrasi fibroblas, dan merangsang pembentukan jaringan baru. Komponen ini juga mengurangi risiko pembentukan jaringan parut yang tidak diinginkan.Â
Alantoin, salah satu senyawa utama dalam lendir bekicot, dikenal dapat mempercepat regenerasi sel dan memperbaiki jaringan yang rusak. Selain itu, sifat antiiritasinya membantu mengurangi peradangan di sekitar luka, sehingga mempercepat proses penyembuhan. Kolagen dan elastin, yang juga terdapat dalam lendir bekicot, menyediakan kerangka dasar bagi pembentukan kulit baru dan membantu menjaga elastisitas jaringan. Sementara itu, sifat antimikroba lendir bekicot efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, yang sering menjadi penyebab infeksi pada luka terbuka.Â
Secara ilmiah, penelitian yang dilakukan pada penggunaan lendir bekicot menunjukkan hasil positif dalam mempercepat penyembuhan luka bakar, luka akibat trauma, maupun luka bedah. Beberapa studi melaporkan bahwa luka yang diobati dengan lendir bekicot memiliki waktu penyembuhan lebih cepat dibandingkan dengan luka yang diobati menggunakan metode konvensional. Lendir bekicot juga diketahui dapat meningkatkan produksi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) di sekitar luka, yang penting untuk memperbaiki suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan yang rusak.Â
Saat ini, lendir bekicot telah mulai dimanfaatkan dalam berbagai bentuk sediaan farmasi dan kosmetik, seperti gel, salep, krim, dan masker wajah. Penggunaannya tidak hanya terbatas pada penyembuhan luka, tetapi juga untuk mengatasi masalah kulit seperti jerawat, bekas luka, dan tanda penuaan dini. Namun, meskipun potensinya sangat besar, masih ada beberapa tantangan dalam pengembangan produk berbasis lendir bekicot, seperti standarisasi proses ekstraksi lendir, pengawetan senyawa bioaktif, dan uji toksisitas untuk memastikan keamanan jangka panjang. Ke depannya, penelitian lanjutan diperlukan untuk memahami mekanisme kerja lendir bekicot secara lebih mendalam, serta memastikan efektivitas dan keamanan penggunaannya pada berbagai jenis luka dan kondisi kulit. Dengan kombinasi sifat regeneratif, antimikroba, dan antiinflamasi, lendir bekicot memiliki peluang besar untuk menjadi solusi alami dan inovatif dalam dunia medis dan kosmetik.Â
Kecepatan Penyembuhan Luka lnfeksi S. aureus dengan Pengobatan Lendir Bekicot saat terjadinya luka infeksi S. aureus pada kulit manusia, tubuh mulai memberikan respon keradangan. Diawali dengan vasokonstriksi, 10 menit kemudian terjadi vasodilatasi permbuluh darah di luka. Pada vasodilatasi. sel-sel polirnorfonuklear danmakrofag datang ke daerah luka dengan cara diapedesis dan migrasi, sedangkan cairan plasma mengisi daerah luka danmenutup jaringan limfatik yang rusak dengan fibrin. Gumpalan fibrin akan membentuk keropeng yang dapat melindungi luka terhadap kontaminasi. Walaupun sudah terbentuk keropeng yang melindungi luka terhadap kontaminasi, narnun di dalam luka insisi yang diinfeksi S. aureus tetap terjadi proses patogenitas bakteri (Cottral, G., R. 2019).Â
S. aureus bersifat khas dalam menyebabkan penyakit pada kulit yakni terbentuknya abses. Bakteri patogen ini mengeluarkan beberapa toksin yaitu eksotoksin, toxic shock syndrome toxin, dan exvo/iatif toxin. Eksotoksin terdiri dari alfa, beta, gama, dam delta hemolisin yang dapat menyebabkan nekrosis pada kulit, melisiskan eritrosit, merusak trombosit, dan meracuni beberapa sel termasuk sel darah merah. Toxic shock syndrome toxin menyebabkan syok dan deskuamasi pada kulit, sedangkan exvo/iatif toxin hanya menyebabkan deskuamasi kulit. Selain itu juga dihasilkan enzim-enzim seperti koagulase, fibrinolisin, dan hialuronidase. Koagulase menimbulkan trombi yang mengurangi suplai darah ke luka. Fibrinolisin menhancurkan fibrin dan menghambat tahap pertama dari penyembuhan sedangkan hialuronidase mengurai asam hialuronat dan dianggap sebagai faktor penyebar.Â
Dengan dihasilkannya toksin dan enzim dari S. aureus, maka pada luka insisi yang diinfeksi bakteri koagulase positif ini, terjadi nekrosis pada jaringan dan sel di pinggir luka insisi. Eritrosit dan trombosit yang jumlahnya meningkat akibat adanya vasodilatasi, turut dilisis dan dirusak oleh toksin. Suplai aliran darah ke luka berkurang, tahap pertama penyembuhan terhambat, dan bakteri semakin luas penyebarannya dalam luka infeksi. Kulit juga mengalami deskuamasi yaitu pengelupasan lembaran lapisan tanduk pada epidermis. Kejadian ini diikuti dengan runtuhnya sel dan jaringan yang rusak, nekrosis, dan deskuamasi tersebut, kemudian juga terjadi pencairan jaringan nekrotik ke pusat luka, terakumulasinya plasma danfibrin, sehingga nanah terbentuk. Dengan terbentuknya nanah maka abses akibat infeksi S. aureus telah terjadi (Djohar, 2020).Â
Saat peristiwa pembentukan abses pada luka infeksi S. aureus, tubuh sedang mengadakan respon keradangan, dan terjadi keradangan yang hebat pada luka akibat meningkatnya jumlah sel-sel polimorfonuklear dan makrofag dan sel-sel ini bekerja ekstra keras untuk melawan bakteri penginfeksi dibandingkan dengan keadaan luka tanpa infeksi. Secara klinis tampak tanda fisik dari keradangan yaitu kemerahan, kebengkakkan, suhu jaringan luka meningkat (panas), dan nyeri bila luka dipalpasi. Dalam penelitian, abses akibat infeksi S. aureus pada luka insisi kulit tedadi 60 jam pasca luka infeksi. Diperkirakan, selama 60 jam tersebut telah terjadi tahap keradangan danproliferasi. Tahap peradangan yang hebat terjadi pada luka akibat infeksi patogen S. aureus dapat membuat tubuh lebih banyak mengirimkan sel-sel polimorfonuklear dan makrofag untuk melawan infeksi bakteri. Sel-sel ini juga berperan penting dalam tahap proliferasi. Lama tahap proliferasi tergantung besarnya luka. Luka infeksi S. aureus menyebabkan tahap proliferasi menjadi lama, dengan kata lain penyembuhan luka menjadi lebih lama. Penyembuhan tidak akan teijadi kecuali bila infeksi sudah dikendalikan (Desiree, 2017). Menurut (Emmy, S. 2018) Pada perlakuan pengobatan lendir bekicot dimaksudkan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka infeksi S. aureus dengan cara mengobati (melawan) infeksi tersebut. Perlakuan pengobatan dilaksanakan setelah abses terjadi atau dengan kata lain melepakan akhir dari tahap keradangan dan awal dari tahap proliferasi.Â
Hasil penelitian ini setelah diuji statistik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pengobatan. Kelompok kontrol yang menggunakan akuades steril memerlukan waktu penyembuhan lebih lama dibandingkan kelompok perlakuan pengobatan yang menggunakan lendirbekicot. Pada pemberian akuades steril hanya dapat membersihkan luka. Berarti tidak terdapat pengobatan luka infeksi S. aureus menyebabkan penyembuhan luka infeksi terjadi secara alami dan relatif lebih lama dibandingkan dengan perlakuan pengobatan menggunakan lendir bekicot. Sebaliknya pada perlakuan pengobatan, terjadi kesembuhan yang lebih cepat. Kecepatan penyembuhan luka infeksi S. aureus dikarenakan pengobatan dengan lendir bekicot. Lendir bekicot mengandung zat antibakterial yaitu Achacin, berupa glikoprotein berberat molekul 160.000 yang terdiri dari dua sub unit dengan berat 0 molekul masing-masing sekitar 70.000-80.000 dan peka terhadap pemanasan 75 C selama lima menit. Achacin berpotensi tinggi dalam menghambat aktivitas pertumbuhan S. aureus dan bersifat bakterisid dengan cara mengelupas dinding sel dan menenggelarnkan membran sitoplasma ke dalarn sitoplasma sel. Namun, Achacin tidak memiliki ak'tivitas bakteriolitik (Fardiaz, S., 2019).Â
Achacin dalam lendir bekicot menyerang S. aureus pada membrasitoplasmanya. Cara kerja ini belumlah jelas dan terperinci pada bagian spesifik mana dari membran sitoplasma sel S. aureus diserang. Membran sitoplasma pada bakteri berfungsi utama sebagai Permeabilitas selektif dan pengangkutan larutan, Pengangkutan elektron dan fosforilasi oksidatif, Pengeluaran eksoezim hidrolitik, Tempat enzim dan molekul pembawa yangberfungsi dalam biosintesis DNA, polimer dinding sel, dan lipid membran sitoplasma mengandung reseptor dan protein lain dari sistem kemotaktik. Tenggelamnya membran sitoplasma ke dalam sitoplasma sel S. aureus dapat menyebabkan bakteri mati karena terganggu dan berhentinya fungsi utama membran sitoplasma. Berbagai komponen penting sel yaitu asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain juga dapat keluar dari dalam sel seperti yang dilakukan antibiotika yang cara kerjanya mengganggu keutuhan membran sitoplasma (Holt, J., G., 2016).Â
Penyerangan Achacin ini membantu kerja dari sel-sel pertahanan tubuh yang berfungsi sebagai fagosit dan penghancur sel bakteri dan substansi asing lainnya dalam tahap keradangan dan tahap proliferasi. Fagositosis dan debridement yang dilaksanakan oleh sel-sel polimorfonuklear dan makrofag akan membersihkan luka dari sel-sel dan jaringan rusak yang terakumulasi dalam nanah. Hasil dari fagositosis akan diekskresikan melalui pembuluh darah. Kemudian jaringan luka dapat segera menyelesaikan tahap proliferasi berikutnya yaitu epitelisasi dan fibroplasia. Epitelisasi akan mendesak keropeng yang menutupi luka sehingga runtuh. Fibroplasia sangat membutuhkan peran dari makrofag karena sel ini dapat memicu bebasnya enzim proteolitik dari lisosom granulosit atau neutrofil dimana enzim ini beserta kolagenase akan merusak jaringan ikat dan merangsang terjadinya fibroplasia dan angiogenesis. Selain itu makrofag juga menghasilkan asam laktat untuk menstimulasi produksi kolagen, melepaskan substansi penunjang proses fibroplasia, mensekresikan produk terdigesti sebagai nutrisi untuk selsel fibroblas. Bantuan dari Achacin membuat waktu tahap-tahap proses penyembuhan luka infeksi menjadi lebih awal dan cepat karena dibasminya bakteri penginfeksi luka. Pengerutan parut luka mulai terjadi bila luka infeksi hampir sembuh dalam arti S. aureus sebagai agen pengifeksi telah dieliminir dan luka infeksi akan menyelesaikan penyembuhannya. Parut luka sering sebagai hasil akhir dari penyembuhan luka yang terinfeksi atau terkontaminasi (Iguchi, S., M., 2019).Â
Bila proses penyembuhan luka infeksi S. aureus telah memasuki tahap remodeling, maka dapat dikatakan bahwa luka tersebut telah sembuh secara fisik tanda kesembuhan dapat diamati yakni dengan tiadanya abses, nutupan kulit dan tumbuhnya bulu wida daerah luka infeksi. Kesembuhan dari luka insisi secara normal (tanpa pengobatan) sekitar 10-12 hari. Maka pada luka insisi yang diinfeksi bakteri bila tanpa pengobatan tentu lebih lama dari 10-12 hari karena tubuh terlebih dahulu menangani infeksi pada luka sehingga proses penyembuhan dapat berjalan dengan alami. Dalam penelitian ini, luka infeksi S. aureus yang hanya diberi akuades steril penyembuhannya relatif lebih lama yaitu sekitar 12-13 hari dibandingkan dengan penyembuhan luka insisi (10-12 hari). Pengobatan dengan lendir bekicot membuat penyembuhan luka infeksi S. aureus menjadi lebih cepat, terbukti dengan pendeknya waktu penyembuhan yaitu sekitar 7-8 hari (Jawetz, E., 2019).Â
Perbedaan Lama Proses Penyembuhan Luka Infeksi S. aureus yang Diberi Lendir Bekicot Konsentrasi 50% dan 100% Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara perlakuan dankontrol berbeda sangat nyata, sedangkan antara perlakuan (konsentrasi 50% dan 100%) tidak berbeda nyata. Proses penyembuhan secara alami terjadi pada kelompok kontrol. Karena akuades steril yang diberikan pada luka hanya berfungsi sebaga pembersih luka dan tidak ada bantuan kepada tubuh untuk mengadakan perlawanan terhadap infeksi S. aureus. Hal ini mengakibatkan proses penyembuhan luka infeksi S. aureus relatif lebih lama dibandingkan dengan perlakuan pengobatan.Â
Hasil perlakuan pengobatan lendir bekicot konsentrasi 50% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 100%, dikarenakan pada luka infeksi S. aureus, Achacin sebagai zat anti bakterial dalam lendir bekicot konsentrasi 50% sudah mampu melawan dan membunuh S. aureus, sedangkan Achacin dalarn lendir bekicot konsentrasi 100% yang berjumlah lebih banyak dan berkemampuan sama dengan Achacin dalam lendir bekicot konsentrasi 50%. Konsentrasi yang lebih besar ini menjadi sia-sia karena yang digunakan untuk melawan bakteri hanya separuhnya. Dengaan terbuktinya lendir bekicot dapat mengobati luka infeksi S. aureus, maka penggunaan lendir bekicot sebagai pengobatan dapat dilakukan di masyarakat. Hal ini akan meningkatkan pemanfaatan bekicot tidak hanya dibudidayakan namun juga sebagai pengobatan (Juwono, S., 2019).Â
SIMPULANÂ
Studi mengenai pengaruh Lendir Bekicot (Achatina fulica) Sebagai penyembuhan luka terlihat bahwa lendir ini memiliki efek positif dalam proses penyembuhan luka. Pada hari pertama, kulit luka menunjukkan kondisi kemerahan dan pembengkakan. Memasuki hari kedua, terjadi pengurangan pembengkakan dan nyeri. Pada hari ketiga, proses epitelisasi dimulai, ditandai dengan luka yang mulai mengering. Hari keempat menunjukkan tanda-tanda kulit mulai menutup, diiringi dengan penurunan kemerahan secara signifikan. Pada hari kelima, luka hampir sembuh sepenuhnya, dengan kulit tampak lebih sehat dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa lendir bekicot memiliki potensi yang efektif sebagai bahan alami dalam mempercepat proses regenerasi kulit dan penyembuhan luka, serta memberikan manfaat tambahan dalam menjaga kesehatan kulit. Sebagai langkah lanjutan dalam pemanfaatan lendir bekicot untuk penyembuhan luka, disarankan untuk fokus pada pengembangan teknologi ekstraksi yang efisien dan ramah lingkungan guna memastikan kandungan bioaktif seperti asam hialuronat, alantoin, dan kolagen tetap terjaga. Standarisasi proses ekstraksi juga perlu dilakukan untuk menjaga konsistensi kualitas produk yang dihasilkan. Selain itu, penelitian lebih lanjut mengenai dosis dan formulasi yang tepat sangat penting agar produk berbasis lendir bekicot, seperti salep atau gel, dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan efektif dalam mempercepat penyembuhan luka. Uji klinis pada berbagai jenis luka juga harus dilakukan untuk mengonfirmasi keefektifan dan keamanannya dalam aplikasi medis, terutama untuk luka bakar, luka bedah, dan luka akibat trauma. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran akan manfaat lendir bekicot, pendidikan kepada masyarakat mengenai potensi dancara penggunaan produk berbasis lendir bekicot perlu diperkenalkan melalui media sosial, seminar, atau publikasi ilmiah. Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola bekicot sebagai sumber bahan baku dapat menjadi peluang ekonomi, sekaligus berkontribusi pada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam ini.Â
REFERENSIÂ
Anonimus (2017). Budidaya dan Prospek Bekicot. Penebar Swadaya. Jakarta.Â
Beisher (2018). Mikrobiology in Practice Individualized Instruction for The Allied Health. Science. Harper and Row Publisher. New York.Â
Bellanti, J.A (2020). Imunologi III. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal. 293- 303.Â
Beng, A. A. W. H. Apriadj dan B. J. Prasojo (2019). Bekicot Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.Â
Bright and Probst. (2019). Small Animal Surgery. W.B. Saunders Company. Philadelphia.Â
Cottral, G.R. (2019). Manual of Standarized Methodes for Veterinary Microbiology. 1st Ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornel University Press. London.Â
Desiree (2017). Perilaku Bekicot (Achatina fulica Bowdich) dan Pengaruh Berbagai Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bekicot. Skripsi. FMIPA. IPB. Bogor.Â
Djohar (2020). Reproduksi Bekicot (Achatina fulica Fer.) dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.Â
Emmy, S (2018). Pengaruh Bahan Makanan Terhadap Nilai Gizi Isi Perut Bekicot (Achatina fulica). Karya Ilmiah Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.Â
Fardiaz, S (2019). Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Â
Ghose, K.C (2018). Reproductive System of The Snail Achatina fulica. Proc. Zool Society. London.Â
Holt, J.G.; N.R. Krieg, P.H.A. Sneath; J.T. Staley; and S.T. Williams (2016). Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. 9th Ed. Williams & Wilkins. Maryland.Â
Iguchi, S.M.M., T. Aikawa; and J.J. Matsumoto (2019). Antibacterial Activity of Snail Mucus Mucin. Comp. Biochem-Physiol. Pergamon Press Ltd. New York.Â
Jawetz, E. J. L. Melnick and E. A. Adelberg (2019). Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Jawetz, E. J. L. Melnick and E.A. Adelberg, J. F. Brooks, J.s. Butel; and O. Nicholas (2019). Medical Microbiology. 12th ed. Apleton and Large. Prestige Hall International SNC. London.Â
Juwono, S (2019). Bekicot Sebagai Obat. Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI