“Jadi anak-anak, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Ri yang keseratus, kali ini kalian Bapak beri tugas istimewa”
Sejenak terdengar riuh rendah teman-teman kelasku. Kali tugasnya jalan-jalan ke Raja Ampat, cari makam pahlawan di sana. Tapi dibiayai sekolah, asyik kan. Itu yang kuinginkan. Teman-temanku juga punya keinginan masing-masing yang saling mereka cetuskan, sehingga membuat suasana gaduh tak menentu.
“Tugasnya apa, Pak?” Tanya Malina, si centil yang mencat rambutnya berwarna merah tupai, memberanikan diri bertanya.
Pak guru ganteng yang mukanya mirip Reza Rahadian, bintang film ngetop zaman nenekku itu, menoleh sejenak, dan kembali melanjutkan memajang slide-nya. Laser pointer berwarna merah berkerlip mengikuti poin pada slide-nya.
“Ini, coba kalian cari tahu, apa yang kira-kira dirasakan dua proklamator kita, Pak Soekarno dan Pak Hatta, kalau beliau-beliau masih hidup atau berkesempatan hidup hingga sekarang”.
Hah? Enggak salah tuh tugasnya? Teman-temanku kembali ribut.
“Nyang bener aje, Pak. Lah kalau belio masi idup, sekarang udah hampir dua ratus taun kali umurnye. Pegimane bisee?” si Juki, anak Betawi asli yang tadinya katanya moyangnya tinggal di Patal Senayan yang sekarang semuanya sudah jadi kawasan Mall-mall termegah se-Jakarta, tiba-tiba bertanya nyaring.
Pak guru ganteng yang namanya Yusup Suleman itu tersenyum manis pada Juki, yang disambut dengan salah faham oleh kelompok cewek-cewek rusuh pimpinan Malina. Heboh dan drama bangeeet.
“Yaa itu kreativitas kalian, bandingkan situasi dan kondisi zaman itu dengan situasi dan kondisi zaman sekarang”.
“Ya mana gue tahuuu…. Nenek gue aja lahir zaman presidennya udah Habibie. Aneh nih guru”, sungut Desti, sang preman cewek yang meski begitu otaknya terkenal encer. Nah, bahkan Desti yang pintar sejak bayi saja menyerah memikirkannya. Apa lagi aku, Sindy, si gadis biasa saja ini?
Pukul dua belas malam sudah lama lewat. Aku sudah dua kali ke kamar mandi. Pou, kucingku, juga sudah berhenti mengeong minta masuk rumah, pasti dia sudah tidur di kardus yang jadi rumahnya di teras. Entah sudah pukul berapa sekarang. Anehnya mataku belum lagi mengantuk, Kepalaku pusing memikirkan tugas sejarah yang semakin mendekati deadline. Kalau sampai aku tak juga mengerjakannya, bagaimana nanti pak Usup yang ganteng itu menilaiku? Sedangkan selama ini saja, dia tak pernah melirikku sedikitpun, Apalagi kalau aku enggak mengerjakan tugasnya. Mungkin aku akan sama dengan Ratata, anak kucing kurus yang suka nyelonong masuk kelas, dan kebal dicuekkin guru-guru itu.