Jarum panjang merujuk angka 10 dan jarum pendek di antara angka 4 dan 5 kala Agus Martowardojo, Mirza Adityaswara, Perry Warjiyo, Ronald Waas, dan Halim Alamsyah memasuki ruangan konferensi pers pada Selasa, 17 Februari 2015.
Di tengah rintik hujan dan angin semilir yang optimum untuk leyeh-leyeh, saya serta puluhan kuli tinta lainnya menyimak penjelasan Dewan Gubernur Bank Indonesia terkait keputusan suku bunga acuan BI rate.
Sebelum lanjut, bank sentral seperti BI tidak bisa mengontrol suku bunga di bank. BI tidak bisa menyuruh bank-bank untuk menaikkan bunga deposito (biar kita hepi) ataupun memaksa mereka untuk menurunkan bunga pinjaman (biar kita hepi juga).
Yang bisa dilakukan BI hanyalah menetapkan suku bunga acuan (ya, makanya namanya acuan, bukan junjungan). Teorinya kira-kira begini: bunga deposito perbankan akan ada di bawah BI rate, sementara bunga pinjaman akan ada di atas BI rate.
Karenanya, BI rate penting baik bagi yang menyimpan uangnya di bank, ataupun yang punya cicilan mobil, motor, rumah, ataupun kredit usaha. Yaa . . . penting bagi sekitar 100 juta lebih manusia Indonesia yang punya rekening bank.
Baiklah . . . batalkan niat kemulan demi mendengar bahasa petinggi ekonomi yang kerap njlimet:
Ekonomi global terus membaik . . . Stimulus Eropa akan mendorong arus modal ke negara berkembang
Oke ini masih bagian ekonomi global. Catat saja.
Perlambatan ekonomi terjadi di daerah penghasil sumber daya alam tambang antara lain Aceh, Kalimantan Timur, dan Papua.
Sudah mulai masuk ekonomi domestik. Siap-siap.
Bank Indonesia memandang pergerakan nilai tukar mendukung perbaikan defisit transaksi berjalan, baik melalui penurunan impor khususnya barang konsumsi maupun meningkatkan daya saing ekspor khususnya manufaktur.
BI rate-nya kapan nih?
Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya . . .
Oooiii . . .BI rate berapa, tuan-tuan?!
. . . sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi kea rah yang lebih sehat dan berkesinambungan.
Serius deh, BI rate apa kabar?
(15 menit kemudian)
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 7,50%
Hweee? Turun?! Beneran?
Terperanjat saya! Beberapa hari sebelumnya, saya mensurvei 14 ekonom dalam maupun luar negeri. Tak seorangpun yang memperkirakan otoritas moneter akan memangkas suku bunga acuan.
Langkah tersebut merupakan pelonggaran moneter pertama yang dilakukan BI sejak awal 2012. Dalam tiga tahun terakhir, BI jika tidak menaikkan, ya mempertahankan suku bunganya.
Urut-urutan kacangnya, kalau BI rate turun, maka bank-bank akan menurunkan bunga depositonya. Karena deposito itu merupakan kewajiban bank ke nasabah, maka saat bunganya menurun, maka beban kewajiban bunga bank juga ikut turun.
Menganalogikan beban bunga sebagai ongkos, maka penurunan akan berdampak ke 'biaya produksi' perbankan yang lebih rendah. Produk akhirnya, suku bunga pinjaman, seharusnya juga ikut turun.
Dan di titik inilah kegembiraan sesaat saya menguap. Saat BI rate turun, bank-bank umumnya cepat sekali ikut menurunkan bunga deposito, tapi teramat lelet saat menurunkan bunga pinjaman. Kali terakhir BI rate turun tiga tahun lampau, bunga KPR saya baru turun sembilan bulan setelahnya.
Inilah anomali perbankan Indonesia. Sebegitu lamanya bunga cicilan rumah turun, alias bottleneck (ini istilah populer sekali waktu pemerintahan SBY). Hambatan yang menjadi derita nyata bagi pengutang papan seperti saya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H