Mohon tunggu...
Iis Ernawati
Iis Ernawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta semester 3 dan mengenal forum kompasiana semenjak mendapat tugas. Salam Kompasiana!^^ Rumah Penulis : www.rumakata.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dan Kelembutan

1 Oktober 2012   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertama kali yang terbesit di kepala saya ketika mendengar kata perempuan adalah perihal kelembutan. Karakteristik umum yang lebih mencolok dibanding dengan laki-laki. Perempuan diciptakan lembut untuk mendampingi sifat kemaskulinan para pria. Menjadi pengayom dan pusat ketentraman hati. Biar bagaimanapun, peran perempuan merupakan salah satukunci terbesar kemajuan zaman. Karena berangkat dari seorang perempuanlah tumbuh generasi masa depan penerus bangsa. Lewat tangan-tangan terampil maka dikenallah nama-nama ilmuan atau pengukir sejarah kehidupan yang tak bisa terlepas dari aroma perempuan. Menjadi pemantik kehidupan, pemicu semangat keberhasilan.

Beberapa dekade terakhir, penulis kerap mendengar gejolak isu-isu yang menyangkut harkat kaum perempuan. Keidentikan dengan kaum tertindas, kaum nomor dua dan jenis yang dianak tirikan memicu pergolakan dan perputaran balik sebuah paradigma bahwa perempuan tidak boleh hanya berkutat di dapur, sumur dan kasur. Perempuan layak ikut maju ke garda depan bersama partner sejati mereka, yakni kaum lelaki. Otomatis, berita ini disambut penuh euforia oleh mayoritas kaum perempuan. Terlebih para aktivis pemerjuang hak mereka.

Isu-isu persamaan gender mendengung dimana-mana. Persamaan hak, tidak hanya bidang pendidikan. Hampir semua aspek pekerjaan telah sama rata antara kaum lelaki dan perempuan. Bahkan, profesi sekelas tukang becak, kuli, satpam, sopir yang dulunya menjadi hak penuh profesi kaum lelaki, sekarang telah berganti alih.

Andai ini dibiarkan dan dibenarkan tanpa batas, benarkah ini yang terbaik?

Kini, dengan alasan kebebasan dan persamaan hak perempuan mulai berani menggugat dan melegalkan semua hal yang dilakukannya. Hal ini didukung oleh bebagai LSM yang membela kaum feminis ini dan juga komisi milik negara yang turutmelindungi mereka.

Barangkali, emansipasi merupakan sesuatu yang bijak bila tak berlebihan dan mengenal batas. Pendidikanlah yang menurut saya paling pantas melatarbelakanginya. Perempuan boleh duduk berdampingan dengan lelaki dan berpikir laksana mereka. Namun, alangkah baiknya bila dia tidak melupakan atau berusaha menghilangkan kodrat aslinya yaitu sifat kelembutan dan penuh kasih sayang.

Kelembutan. Pernah berpikir bahwa perlahan kelembutan seorang perempuan mengikis? Pernah saya memandingkan antara guru laki-laki dan perempuan. Dulu, perbedaan bisa dilihat melalui seragam yang mereka kenakan. Pak Guru memakai setelan celana panjang dan ibu guru setelan rok. Seiring berjalannya waktu, saya mulai jarang melihat seorang guru perempuan yang memakai rok. Padahal, itu salah satu hal yang mewarnai perbedaan diantara keduanya. Bukankah berbeda merupakan sebuah warna? Kenapa harus sama? Apa ada yang salah dengan kostum seorang perempuan selama ini? Tidak hanya itu, seringkali saya kesulitan menemukan sifat dasar seorang perempuan – yang lembut, anggun, peka dan penuh kasih sayang.

Pandangan saya mulai mengabur dan kian sulit membedakan hakekat keduanya. Persamaan gender malah menimbulkan homogenitas yang perlahan mengaburkan sifat dasar seorang perempuan. Tak mau kalah, perempuan mulai tak betah tinggal di rumah. Meninggalkan para buah hati dan sibuk sendiri di luar. Dalih ekonomi kian membuat peran diluar seorang perempuan seolah dibutuhkan sekali. Sampai seperti itu, mungkinkah sekarang seorang lelaki mulai lemah? Kurang sanggup mengayomi perempuannya, sehingga dia harus merelakan pasangan sejatinya berkeliaran di luar sendirian.

Seorang perempuan dibolehkan bekerja jika memang benar-benar tuntutan kehidupan dan dia sangat dibutuhkan, semisal menjadi seorang pengajar. Asalkan dia tetap menjaga dirinya, menjaga keutuhan keluarga, serta ketentraman buah hatinya. Bagaimanapun, kelembutan seorang perempuan (ibu)tak bisa terganti oleh siapapun – seorang lelaki, pengasuh, atau tempat-tempat penitipan anak.

Bagi saya perempuan terbaik adalah bukan perempuan berdasi dan pergi bekerja layaknya lelaki. Perempuan yang berhasil bukanlah perempuan karir yang mati-matian bekerja mempertahankan perusahaan ataupun instansi yang menampungnya. Perempuan terbaik di angan saya adalah ketika dia berhasil mendidik anak-anak mereka dengan baik. Berhasil membangun generasi bangsa yang cerah. Perempuan yang tak tega meninggalkan anaknya di rumah sendirian hanya demi acara perjamuan. Perempuan perhatian yang mencurahkan segenap ilmu dan kehidupannya untuk kepentingan calon pemangku masa depan : anak-anak mereka. Itulah perempuan sesungguhnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun