Mohon tunggu...
Iis Ernawati
Iis Ernawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta semester 3 dan mengenal forum kompasiana semenjak mendapat tugas. Salam Kompasiana!^^ Rumah Penulis : www.rumakata.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kebebasan Berekspresi Vs Etika Berekspresi

18 September 2012   00:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:19 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menanggapi aksi protes yang terjadi di beberapa negara muslim terkait beredarnya film The Innocence of Muslims yang dipelopori oleh seorang pria keturunan Mesir-AS yang beragama Kristen Koptik, Sam Nakoula Basseley Nakoula alias Sam Bacile, pejabat Amerika Serikat enggan menginvestigasi secara lansung. Mereka berpatokan pada kebebasan berekspresi (termasuk memproduksi film) tidak termasuk dalam kategori kriminal di Amerika Serikat. Penyelidikan Nakoula hanya membahas dugaan pelanggaran masa percobaan atas pengaksesan internet dan penggunaan nama samaran, (Republika, 17/09/12). Hal ini sangat disayangkan karena efek yang ditimbulkan oleh film tersebut berdampak secara internasional,  menimbulkan kerusuhan dan jatuhnya korban.

Istilah kebebasan berekspresi sebetulnya telah muncul sejak beberapa dekade yang lalu. Semenjak reformasi dan penerapan sekularisme di negara-negara barat dan Eropa. Tepatnya mendapat pengakuan hukum pada tahun 1948 oleh PBB pada pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,"Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja tanpa batas." Selaras dengan undang-undang ini, hak kebebasan berpendapat juga dianut oleh negara Indonesia yang termuat dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945.

Kebebasan menjadi sah-sah saja apabila tidak mengganggu keberadaan pihak lain. Dengan dalih penggunaan hak asasi manusia tidaklah cukup menjadi pembenar terhadap setiap tindakan seseorang. Ada pertanggung jawaban dibalik penerapannya.

Undang-undang diciptakan tidak mengatur perihal kebebasan saja. Melainkan ada pengaturan lain terkait penjaminan hidup manusia agar terwujud masyarakat yang harmonis dan saling menghormati. Di negeri ini, kebebasan tidak serta merta diumbar. Apalagi dengan variasi masyarakat majemuk yang rentan terjadinya konflik, semisal perselisihan intern atau antar umat beragama. Pasal 156a KUHP menyebutkan bahwa akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Dengan adanya pasal ini menjadi bukti bahwa kebebasan memang harus memiliki batasan atau etika.

Kebebasan berekspresi seringkali digadang-gadangkan dalam bidang seni. Dalam film The Innocence of Muslims terlihat terjadi benturan antara kebebasan berkarya dan kebebasan umat lain. Betapa tidak, setiap suatu karya yang telah di lempar ke ranah umum haruslah dipertimbangkan terlebih dahulu, apa yang hendak disampaikan dan bagaimana nanti reaksi khalayak. Dan tetap menjadi patokan saya ketika menilai sebuah film apakah berkualitas adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, entah itu nilai kemanusiaan, nilai religiusitas, atau kepahlawanan. Dalam film garapan Nakoula saya katakan sama sekali tidak berkualitas, bahkan sangat buruk, dari alur cerita, pemain, penataan, serta maksud dibalik pembuatan film tersebut. Sungguh tidak bernilai dan tidak layak dikatakan sebagai karya seni.

Kebebasan di Amerika telah mengalahkan etika. Tidak hanya di bidang film saja, media seperti buku, majalah, atau acara televisi sarat akan tampilan yang bagi beberapa negara timur masih dianggap tabu atau terlarang. Penyuaraan kebebasan seks, hubungan sesama antar jenis menjadi tontonan yang lumrah di negeri yang berjuluk Paman Sam tersebut. Dan ini tidaklah patut ditularkan kepada negara-negara timur yang masih menjunjung tinggi nilai norma dan etika.

Menjadi negara superpower bukanlah pembenar segalanya. Seperti ingin menang sendiri dan tak mau mengakui kesalahannya, pejabat Amerika Serikat menampik adanya tindak kriminal pada film tersebut. Padahal dalam pasal 29 Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia sedunia terdapat pernyataan hak kebebasan tidaklah boleh dilaksanakan secara absolut di dunia. Dengan begitu, setiap kebebasan yang sekiranya merugikan pantaslah ditindak dan diperkarakan.

Bersyukur menjadi salah satu warga negara Indonesia yang masih mendapat perlindungan dan pengajaran. Ataukah kita harus mengundang mereka (baca: Amerika Serikat) tentang betapa undang-undang kita perlu dicontohnya?

Gemini Net, 18 September 2012

(07:22)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun