Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agma dan kepercayaannya itu.
Telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 45 bahwa Negara Indonesia adalah Negara bertuhan yang menghargai hak dan kebebasan setiap warganya, khususnya dalam memilih dan menjalankan perintah agama.
Berawal dari pengakuan resmi lima Negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha maka lengkaplah keanekaragaman agama di Indonesia. Pasca reformasi 1998 setelah mengalami pergantian presiden, tepat ketika pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Abdurrahman Wahid bertambahlah satu kepercayaan ras Tionghoa yakni Konghuchu. Gus Dur telah mencabut Intruksi Presiden (Inpres) No 14/1967. Inpres yang dikeluarkan oleh almarhum mantan presiden Soeharto ini melarang kaum Tionghoa merayakan peringatan hari besar keagamaan, adat istiadat, di depan umum. Akhirnya masyarakat Tionghoa bisa dengan bebas melaksanakan perayaan keagamaan tanpa dibayang-bayangi oleh rasa takut maupaun ancaman. Berkat rasa toleransi dan ajarannya Gus Dur dijuluki Bapak Pluralisme oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sedikit memprihatinkan ketika negara telah memberikan ruang kebebasan serta membuat undang-undang perlindungan seolah hanya berfungsi sebagai aturan formalitas yang kurang mampu berperan menjaga kerukunan agama suatu negara saat ada beberapa oknum yang mengatasnamakan agama menodai undang-undang lewat perseteruan dan kerusuhan antar agama. Hukum dan pemerintah nyaris lumpuh menghadapi berbagai konflik dan kerkerasan yang tak pernah usai. Pertumpahan darah dan pembantaian tak terhindarkan, sehingga menambah cerita kelam Indonesia.
Pengeboman tempat ibadah, penyerangan massal oleh sekelompok orang terhadap penganut agama minoritas serta pemaksaan kehendak oleh aliran agama tertentu merupakan fakta betapa konflik agama masih berpotensi terjadi dan sulit dihapuskan.
Sifat eksklusifisme yang berlebihan dengan memandang kelompok sendiri paling benar menjadi salah satu faktor rentannya konflik antar agama. Benturan kepentingan pribadi dan sifat enggan berbagi pemikiran semakin mempersempit pola pikir penganut agama ekstrim. Akhirnya menimbulkan sikap fanatisme yang berujung pada pemikiran saling curiga dan upaya menjatuhkan satu sama lain. Sempit pandangan juga mempermudah seseorang bertindak berlebihan yang mengatasnamakan penegakan agama Tuhan untuk melakukan tindakan diluar norma, seperti pembakaran dan pembantaian.
Menjadi sebuah keniscayaan tertanam disetiap pemeluk agama sikap toleransi dan sifat sadar diri tentang indahnya kerukunan dan warna-warni kehidupan yang berjalan bersama perdamaian. Disamping itu, agama sendiri telah mengajarkan ajaran damai mutlak dan diperkuat dengan berbagai aturan dan perlindungan keagamaan yang dibuat oleh negara. Hendaknya pemerintah lebih serius memperhatikan berbagai gejala sosial keagamaan, Bersikap adil menjadi mediator dan fasilitator saat terjadi kerenggangan hubungan antaragama.
Simbol keagamaan jangan dijadikan alasan pertentangan. Keragaman adalah warna dan perbedaan adalah wajar. Mari saling menghargai dengan hidup berdampingan dan saling menjaga kerukunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H