Ditulis pada kamis malam menjelang pukul sepuluh…
Renungan selepas perbincangan, sehabis mengupas film percintaan. Seidealisme kehidupan manusia, dia takkan pernah terlepas dari romantisme cinta. Entah itu cinta antar manusia atau sesama. Oke, saya selalu kebingungan ketika memulai obrolan mengenai cinta. Karena terlalu luas dan harus menentukan dari tepian mana memulai berbicara. Barangkali dari cinta dua jenis manusia saya akan memulainya.
Saya jadi teringat ketika ada seseorang yang secara terang-terangan menyatakan ‘kesukaannya’ pada saya. Dan normal atau tidak respon pertama kali yang saya berikan adalah pertanyaan ‘kenapa harus saya? Ya, mudah sekali seseorang tertarik pada lawan jenisnya dan mengungkapkan cinta. Cinta, saya selalu mencari kedalamannya. Pada orang-orang yang datang, pada mereka yang berpengalaman, juga lagu-lagu sendu yang dijadikan tema orang yang sedang dilanda rindu. Dan jujur, sampai sekarang saya masih absurd akan kedatangannya, masih obyektif memandang kehadiran dia. Apa lagi-lagi ini tidak normal? Menjadikan kajian cinta sebagai sebuah artikel opini dan bukan dibungkus melalui puisi atau cerita-cerita romantis yang dapat membuat orang tersenyum bahagia atau menangis haru. Ah, saya bukan tipikal orang seperti itu.
Bolehkah saya bertanya dan mengangkat sebuah masalah? Ada yang bilang cinta itu candu, cinta itu siksa, namun disisi lain orang mengatakan bahwa cinta pembawa bahagia dan kedamaian. Jadi yang benar yang mana? Hei, cobalah kita sekali-kali kita keluar lingkaran dan memandang suatu bukan kita sebagai pelaku. Memang, pengalaman pribadi seringkali membuat seseorang melakukan keputusan secara sepihak dan anehnya pemikiran tersebut ditanamkan pada orang lain yang jelas-jelas berbeda pengalaman. Belajar membuka mata bahwa bukan kisah kita saja yang mewarnai dunia. Ada kisah-kisah lain yang kadang bertolak belakang dengan apa yang dikira selama ini. Begitu pula dengan cinta.
Saya teringat dengan salah satu statement seorang dosen bahwa ada dua jenis pengkategorian perasaan manusia. Tingkatan ‘suka’ dan ‘cinta’, keduanya berbeda. Jika kamu sakit dan merasa dikorbankan karena cinta itu baru sampai tahapan suka, bila perasaanmu hanya sebatas senang memandangnya, ingin selalu bersama dan terus-menerus ditekan oleh hasrat yang malah tak bisa terbendung, itu juga baru suka. Berbeda dengan cinta, dia menenangkan. Percaya atau tidak bila benar-benar orang cinta dan belum terkontaminasi oleh hal-hal berbau hasrati, melihat atau menyentuhnya pun akan sukar. Terlalu berharga untuk dicampuri oleh kekuatan lain - naluri ‘id’ yang dapat mengaburkan makna cinta sesungguhnya.
Jadi, belum tentu orang yang mengatakan berpengalaman masalah cinta benar-benar merasakan jatuh cinta sungguhan. Kebanyakan pasangan merasakan rasa-rasa ini di awal perkenalan dan memudar bila sampai di tengah jalan. Itu karena mereka kurang bisa menjaga dan bertanggung jawab atas anugerah cinta yang diberikan oleh Tuhan. Pertanyakanlah kembali rasa yang anda katakan cinta selama ini. Apakah karena gengsi, malu, ikut-ikutan, material atau karena kesenangan. Cobalah sekali-kali jujur pada diri sendiri. Sekali-kali memperhatikan pribadi jika selama ini hanya telah sibuk melihat orang lain. Bukan apa-apa, untuk sekedar hati-hati dan berjaga bahwa sewaktu-waktu rasa cinta yang salah dimaknai atau disalahgunakan bisa menjadi boomerang yang melukai atau membawa kita pada pemujaan. Bahwa seolah-olah ikrar cinta telah membebaskan dan melegalkan segalanya. Padahal hal tersebut keliru, kita lupa bahwa rasa pun cobaan – sewaktu-waktu berubah dan tak pernah konstan. Kita lupa bahwa rasa cinta merupakan ujian, sejauh mana kita bisa dengan bijak memperlakukannya. Karena bagaimanapun cinta Allah lah terabadi. Tempat bertumpu segala harapan do’a cinta-cinta antar manusia dan semesta.
Tahukah,
Butuh proses lama temukan kedamaian ini
Memandang sebuah perjalanan cinta bukan sebagai kungkungan atas segala ambisi tuk menguasai
Belajar berjiwa besar dan dari keikhlasan,
Bahwa cinta manusia memang tak pernah konstan