Entah kenapa, ingatanku tiba-tiba melayang pada keluarga Pak Longgar, keluarga yang berkenan menampungku dan temanku. Aku merindukan suasana dalam keluarga itu. Suasana di desa yang sederhana namun sarat makna dan pengalaman.
Satu tahun silam, aku mengikuti acara live in bersama teman-teman sekolah. Kami memilih Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang sebagai tempat tujuan kami. Awalnya berbagai pikiran berkecamuk, takut kalau pemilik rumah kurang ramah terhadap kami atau mungkin relief alam yang menakutkan dengan tebing-tebing curam. Tapi sesampai di sana, perasaan damai langsung ada meski kedatangan kami disambut guyuran hujan. Setelah beberapa kata sambutan, kami berpencar ke dusun-dusun, sesuai keluarga yang kami tempati. Aku mendapat jatah kediaman keluarga Pak Longgar di Dusun Gemer.
Malam harinya kami beramah-tamah dengan penduduk dusun masing-masing. Setelah cukup mengobrol dengan penduduk setempat, kami pulang ke rumah (mulai saat itu dianggap begitu) masing-masing dan tidur.
Hari kedua, kami bergegas untuk outbond. Kegiatan yang sangat ditunggu oleh kebanyakan dari kami. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan mulai menyusuri jalur yang ditentukan. Setelah melalui beberapa pos, sampailah kami pada rentetan air terjun yang harus kami panjat dengan tangga. Menegangkan, awalnya, sampai-sampai kebelet pipis. Untung Pak Longgar dengan baik hati meminjamkan topinya untuk kupakai, sehingga aku tidak begitu gelagapan saat menerobos air terjun. Tiga air terjun usai kami lewati, kemudian kami diharuskan berjalan sendiri-sendiri melewati jalan yang ditunjukkan oleh Pak bilingual (lupa namanya, biasanya aku manggil begitu). Sedikit was-was, tapi akhirnya berhasil meski sempat nyasar :D
Setelah itu kami berkumpul dan mengikuti Misa Alam kemudian menikmati Nasi Doa usai misa berakhir. Ditemani guyuran hujan (lagi) kami menikmati nasi doa bersama-sama. Wah rasanya, maknyuss! Lalu kami diperbolehkan untuk pulang. Satu kesalahan waktu itu, aku berjalan di jalan penuh lumpur. Alhasil, sandalku satu-satunya j-e-b-o-l. Yah, nasib..
Pagi harinya, Pak Longgar meminjamkan sandalnya untuk sementara. Kami diajak memunguti sampah di rumah-rumah penduduk. Sampah-sampah itu dikumpulkan untuk kemudian diolah kembali. Sumpah, ngeri aku, tiap rumah kok selalu ada anjingnya. *merinding* Setelah selesai mengambil sampah, kami diperbolehkan ikut kegiatan rutin keluarga kami. Beruntungnya aku punya bapak sebaik Pak Longgar, kami berdua disuruh ikut ibu ke sawah, tidak perlu ikut ke kandang membersihkan kotoran sapi.
Pulang dari sawah, kami boleh istirahat sebentar untuk kemudian packing karena kami akan segera meninggalkan dusun itu. Rasanya tidak rela meninggalkan desa itu dengan semua kenangan yang ada di sana. Tapi apapun nyang terjadi, kami harus pulang. Dan aku mendapat kenang-kenangan tersendiri dari Pak Longgar. SANDAL SWALLOW BIRU yang kira-kira bisa untuk boncengan bertiga *lebay* saking besarnya. Sandal yang kusimpan sampai titik darah penghabisan, maksudnya sampai jebol.
Terimakasih Pak Longgar atas segala bantuannya, Bu Longgar atas masakannya, Bam-bang atas kebaikannya mengantar kami ke tempat pertemuan, Lek Wanto atas keramahannya menyambut kami, Pak bilingual atas kesediaannya memayungi saat hujan turun, Mas-mas Gemer atas kesediaannya menjemput kami saat kumpul penduduk, dan semua bapak serta ibu yang telah baik hati terhadap kami, memberikan kami pengalaman dan keteguhan dalam mempercayai diri sendiri.
[caption id="attachment_168806" align="aligncenter" width="225" caption="Gambar : Dokumentasi pribadi "][/caption]
[caption id="attachment_168812" align="aligncenter" width="225" caption="menembus air terjun"]
[caption id="attachment_168813" align="aligncenter" width="300" caption="misa alam"]