Mohon tunggu...
IEA Hong
IEA Hong Mohon Tunggu... -

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Retakan-Retakan Kebencian

17 Februari 2014   03:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau aku melangkahkan kakiku selangkah lagi, mungkin Bus Transjakarta yang besar akan mengakhiri penderitaanku” begitulah pikirku waktu itu saat seorang diri berdiri di pinggir jalan raya yang ramai, ketika sebuah bus transjakarta yang sedang melaju kencang menghampiriku.

Seorang diri berjalan dengan lunglai, dalam kesendirian di tengah hiruk-pikuk jalanan yang ramai, hatiku  yang telah hancur berkeping-keping, bagaikan kaca yang telah di hantam batu besar, dan tidak mungkin bagiku untuk menyatukannya kembali, bagaimana tidak, teman yang paling aku percayai, teman yang paling aku sayangi, teman yang paling aku harapkan untuk bisa bersamaku baik dalam suka maupun duka, tidaklah seperti yang aku perkirakan, di tengah keterpurukanku, dia menjauh dan meninggalkanku.

Seorang diri dalam hantaman badai kehidupan, ditinggalkan seorang diri, tidak berdaya, tanpa harapan, “Hanya waktu yang bisa mengobati luka hatimu” kata teman ku yang lain menyemangatiku, dan begitulah yang memang terjadi, setelah beberapa waktu berlalu, aku mulai menata kembali hidupku, kepingan-kepingan hatiku yang hancur kini mulai kusatukan kembali, walaupun kepingan-kepingan hatiku sudah mulai kembali kutata, tetapi aku selalu merasa sudah tidak seperti yang dulu lagi, bagaimanapun bagian-bagian yang pecah sudah tidak bisa menyatu dengan sempurna, kebencian dan kehilangan kepercayaan pada orang lain bagaikan jalur-jalur retakan yang memenuhi hatiku, kemanapun aku melihat selalu ada retakan-retakan disana.

Aku selalu merasa ada bagian-bagian dari pecahan hatiku yang telah hilang, kebahagiaan yang selalu mengisi hatiku telah hilang, kepercayaanku pada orang lain pun telah hilang, kini hanya satu yang bisa kulakukan, aku harus menemukan kembali bagian yang hilang tersebut, bagian yang akan mengembalikan kebahagiaanku, bagian yang akan mengisi lobang kebahagian dan menutup retakan kebencian dalam hatiku.

Hari-hari terus berlalu, kini telah kutemukan kembali kebahagiaanku di tengah para relawan, dan menutup kebencian dalam hatiku diantara senyuman para penerima bantuan.

Walaupun hatiku sudah tidak bisa kembali utuh seperti dulu, tetapi kini aku telah mengisinya dengan kepingan-kepingan yang lebih indah, kepingan-kepingan cinta kasih tanpa syarat, tidak membeda-beda suku dan agama, aku bersumbangsih tanpa pamrih.

Kini dijalanan yang sama, diantara deru mesin Bus Transjakarta, Bus yang kupikir bisa mengakhiri penderitaanku dulu, kini membawaku menuju hari-hari paling bahagia dalam hidupku, membawaku bertemu dengan para relawan dan para penerima bantuan, membawa harapan baru bagiku.

Kisah ini ditulis berdasarkan penuturan dari seorang relawan yang sedang berjuang mengantikan  kebencian dengan cinta-kasih tanpa batas, seorang relawan yang kini selalu mengisi hari-harinya dengan senyuman.

“Wajah terindah adalah wajah dengan senyuman” Master Cheng Yen.

By: IEA Hong

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun